Apakah kamu tidak malu begitu peduli pada perolehan uang, ketenaran dan prestise ketika kau tidak berfikir, tidak peduli tentang kebijaksanaan, kebenaran dan peningkatan jiwamu. (Filsuf Socrates, 469-399)
Mmmh, akan banyak orang yang berkerut kening ketika membaca pernyataan filsuf Socrates ini. Bahkan mungkin sebagian akan mengumpat dan mengatakan, “Hai Socrates, itu bukan urusanmu”, “Urus saja dirimu sendiri.” Atau paling sering kalimat untuk mengcounter pernyataan Socrates ini adalah, “Mmh, miskin tanda tak mampu”. Rasanya geli sendiri membayangkan wajah Socrates ketika mendapat jawaban menohok jantung itu.
Namun, begitulah dunia ini. Sekarang dan di masa lalu. Ketika ukuran kesuksesan seseorang atau suatu kaum dilihat dari banyaknya kekayaan, ketenaran dan hidup yang bersenang-senang.
Apalagi di jaman milenials yang jauh dari Socrates ini. Dunia seperti membuka ruang untuk memamerkan, mempertontonkan dan mempertunjukkan kekayaan dan ketenaran. Mau itu halal, haram atau samar-samar. Tak penting lagi. Yang penting mewah dan kaya.
Lalu masyarakat kita pun menjadi terbiasa melihat seorang selebritis, oknum penguasa memamerkan harta kekayaannya. Meski sudah rahasia umum bahwa harta itu diperolehnya dengan jalan tak halal. Ngeri membayangkan, ketika orang-orang itu tampil di depan khalayak ramai dengan terbukanya mempertontonkan gaya hidup dan kekayaan mereka lalu mengabaikan pesan Tuhan tentang kebaikan. Tuhan hanya ada ketika dia melakukan ibadah ritual. Sampai lupa bahwa Tuhan itu ada di mana dan kapan saja.
Adalah Dr Fahruddin Faiz, dosen filsafat di salah satu universitas di Yogya. Menurutnya, ini yang membuat kebanyakan manusia tidak bahagia. Karena orientasi manusia kini mencari segala yang bersifat kebendaan, ketenaran dan prestise. Manusia kata Dr Fahruddin, lebih menganggap penting uang, ketenaran, dan prestise dari pada pencapaian yang lebih hakiki, yaitu peningkatan jiwa, kebenaran dan kebijaksanaan.
Padahal kata Socrates, kebahagiaan itu muncul ketika kita bisa menikmati yang sedikit, merasa cukup dengan yang ada.
“Dia yang tidak merasa puas atas apa yang dia miliki, maka tidak akan puas akan apa yang Dia inginkan.” (Socrates)
Namun, bukan berarti manusia tidak boleh kaya. Silakan kaya karena akan berguna untuk dirimu dan sekelilingmu. tetapi tidak dengan menggunakan berbagai cara untuk memperolehnya dan untuk memamerkannya. Sebab kata Dr Fahruddin, seseorang disenangi atau dikagumi dan disegani bukan ukuran karena kekayaan dan jabatan dan ketenarannya. “Cukup kita bekerja keras, kita berbuat baik, kita bijaksana, maka semua orientasi kekayaan, ketenaran dan prestise akan datang dengan sendirinya,” ujarnya.
Dr Fahruddin mengingatkan kita tentang bagaimana para pembawa pesan Tuhan dan para Nabi yang memilih hidup bersahaja dan sederhana. Nama merekapun semerbak hingga kini. Karena perbuatan baik yang mereka lakukan.
Seperti Nabi Isa Alaisalam, Rasulullah Muhammad SAW hidup dalam keserderhanaan, kebersahajaan. “Hidup itu yang penting rasa syukur atas apa yang kita miliki”. Mmh, mari kita renungkan!
Tello 12 Oktober 2022