Bagiku tidak mudah membahasakan cinta ibu kepada anak. Sebagaimana semua orang memahami kasih ibu itu seperti “Matahari yang menyinari bumi, hanya memberi tak harap kembali.”
Seringkali, cinta ibu itu dipahami setelah dia tak lagi ada. Ketika dia telah kembali ke-haribaan Ilahi. Atau ketika sang anak telah menjadi orangtua dan memiliki anak.
Sebagaimana aku memahami kasih ibu-ku kepadaku. Setelah dia tak lagi ada, tak lagi menemani. Setelah aku sendiri menjadi ibu dari anak lakilaki-ku.
Seorang ibu juga manusia biasa yang tak selalu sempurna. Dalam menyampaikan kasih sayang dan cintanya kepada anak, tak selalu ‘indah’. Tak selalu penuh pelukan, ciuman dan belaian. Pelukan, belaian dan ciuman mungkin saja sering dilakukan ketika anak masih kecil dan masih menyusu. Tetapi ketika anak bertumbuh, bertambah umur, apalagi sudah berubah pola tingkahnya, maka bentuk cinta pun tak lagi sama. Bisa jadi ada cubitan, ada pukulan dan bentakan di sana sini. Juga suara keras dan teriakan.
Apalagi bila ibu dan anak itu tumbuh dalam keluarga yang serba kurang, baik pendidikan, ekonomi dan cara pandang dalam pola pengasuhan.
Pergulatan hidup tak selalu mudah bagi kebanyakan ibu seringkali menyebabkan anak tersakiti, dan mungkin juga ibu yang tersakiti. Seringkali air mata tumpah dari anak, tak jarang juga dari ibu sendiri. Lalu bentuk cinta pun penuh dengan luka bathin meskipun sama sekali tidak pernah terbetik dalam hati untuk saling ‘menyakiti’.
Tetapi, kata Gede Prama, Guru Spiritual asal Bali, terima saja setiap bentuk kebaikan keburukan, kejahatan dan kasih sayang sebagai bagian dari drama kehidupan yang setiap orang harus melakoninya. Diterima kedua bentuknya dengan kadar cinta yang sama yang semua terjadi karena kehendak semesta. Pada akhirnya, semua akan terlewati dan berlalu. Sebagaimana hidup pun berlalu. Tinggal bagaimana kita menyikapi setiap peristiwa yang terjadi sebagai kehendak semesta.
Bila kita percaya bahwa Tuhan akan memberikan jalan, maka dari setiap luka jiwa dan bathin itu akan menemukan jalan kesembuhannya. Sebab kata Gede Prama, bahkan orang-orang suci di seluruh agama pun mengalami luka bathin dan melakukan kesalahan dalam proses bertumbuhnya. Terima saja sebagaimana berputarnya bumi pada porosnya.
Tulisan saya ini terinspirasi dari sebuah Korea Drama berbentuk minibus berjudul “Our Blues” episode 20 yang penuh dengan air mata.
Kisah tentang anak laki-laki dewasa dan ibunya yang telah tua dan terkena kanker. Kehidupan yang penuh dengan kekerasan dan kasih sayang yang tak berwujud belaian, pelukan dan ciuman dari sang ibu kepada anak di usia remajanya, membuat laki-laki dewasa itu tidak mencintai ibunya yang renta dan sakit.
Namun diakhir usia ibunya yang terkena kanker stadium IV, lelaki dewasa itu berjanji kepada dirinya untuk menemani dan memenuhi keinginan ibunya sebelum mati.
Dalam perjalanan mereka berdua sebelum ibunya menemui ajal, sang anak akhirnya tahu bahwa ibunya mencintai dia dengan caranya. Mengingat semua kesukaan dan kebaikan anaknya hingga akhirnya dijemput ajal setelah memenuhi keinginan anaknya menyiapkan masakan kegemaran anak laki-laki satu-satunya itu.
Lee Byung Hun, aktor Korea sekelas Holywood itu memerankan Lee Dong Seok, laki-laki dewasa yang tumbuh dengan kesedihan dan kemarahan terhadap ibunya yang terpaksa menikah lagi dengan lelaki lain untuk bertahan hidup agar bisa memberi makan dan sekolah untuk Lee Dong Seok. Alasan yang tak pernah diketahui oleh anaknya hingga menjelang kematian sang ibu.
Ibu itu bernama Kang Ok Dong, yang diperankan dengan sangat apik oleh Kim Hye Ja, artis senior Korea. Episode terakhir dari Minibus drama Korea ini, sungguh menguras air mata.
Kedua tokoh benar-benar mempertontonkan kualitas akting yang luar biasa, sangat natural, sangat dekat, mereka seperti menjadi tokoh itu sendiri. Ini diluar konteks tulisan, tapi saya harus jujur mengatakan pantas saja bila Drama Korea menjual hingga di seantero jagad, sebab aktingnya yang berkelas dunia.
Soompi.com menuliskan bahwa episode final drama minibus ini pada 12 Juni, mencapai peringkat pemirsa tertinggi dari seluruh penayangannya serinya.
Menurut Nielsen Korea, episode terakhir dari drama bertabur bintang ini mencetak rating nasional rata-rata 14,6 persen, menempati posisi pertama dalam slot waktunya dan membuat rekor pribadi baru untuk pertunjukan tersebut.
Ada banyak nilai yang disampaikan dalam kisah Anak dan ibu ini. Bahwa seringkali cinta itu tak berbentuk pelukan dan ciuman, sebab sebagian ibu harus bekerja keras membanting tulang bahkan harga dirinya untuk bisa membesarkan anak-anak yang dilahirkan.
Namun, percaya saja bahwa pada akhirnya semesta akan menyampaikan cinta ibu kepada anak dengan caranya sendiri. ***