Melewati Ujian Keimanan . Ibu muda itu sangat putus asa. Berbagai cara dilakukan untuk bisa menggaet hati suaminya untuk kembali ke rumah.
Setahun terakhir ini suaminya, lebih banyak menghabiskan waktu dengan isteri mudanya. Dia tak lagi peduli dengan dia dan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Perempuan baru itu mengikat hati lelakinya.
Sedih, duka dan terluka dia rasakan. Namun mengingat anak-anaknya dan tak ingin retak rumah tangga membuat dia berpikir berkali-kali untuk meninggalkan perkawinan yang terasa neraka.
Karena perkawinan itu, dia rela meninggalkan agama terdahulu dan keluarga besarnya.
Dia sendiri, cintanya yang mendalam kepada suami membuatnya bertahan meski terluka.
Baca juga : Syukuri Setiap Pencapaian
Lalu, pada orang tua itu dia datang dan tersedu-sedu menangisi keadaannya. Bagaimana hebatnya luka yang dia rasakan, sakit dan pedih.
“Padahal tak henti-hentinya aku berdoa, Ibu. Meminta kepada Allah untuk mengembalikan hatinya kepada kami di rumah. Tak pernah Aku berhenti bermunajat, shalat tahajjud, berpuasa sunnah dengan harapan Allah mengembalikan dia kepada kami. Tapi mengapa tak kunjung dikabulkan? Mengapa Tuhan seperti mengabaikan apa yang kami pinta? Kurang amalan apalagi yang harus kami lakukan,” ujarnya dalam urai air mata dan sedu sedan kepada Ibu yang memeluknya.
Ibu itu terdiam lama. Sambil mengusap-usap punggung dan kepala wanita muda yang datang padanya dalam kesedihan yang mendalam. Selain menyuguhkan air putih hangat.
ketika dia melihat perempuan muda itu mulai mereda tangisnya. Ibu tua yang terkenal bijak itu mulai berkata.
“Anakku, di dunia ini, tidak ada satu orang pun yang bisa melewati cobaan hidupnya. Masing-masing orang dengan masalahnya dan beban kehidupan yang mungkin tak sama, tetapi tetap terasa berat.”
Baca juga : Syukur di Balik Kesedihan
“Anakku, kita memahami bahwa setiap persoalan hidup yang kita alami adalah cobaan, ujian keimanan dari Allah SWT. Kata Allah, tidak disebut beriman seseorang sampai dia diuji dengan berbagai persoalan dan masalah,” ujar ibu itu mengutip Ayat Alquran Surah Al-Ankabut. Mulai ayat satu hingga 7, dalam Kitab Suci Umat Islam.
“Sejauh mana kau tetap menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, seberat apapun masalah yang kau hadapi.”
“Sangat penting yaitu kau tetap bersyukur, berdoa dan tak berhenti beramal meski beban yang kau pikul amat berat.”
Sebab, akan sangat mudah bagi manusia untuk bersyukur ketika dia bahagia, senang dan suka cita.
Namun, apakah kau masih bisa tetap bersyukur ketika Allah mengujimu dengan persoalan yang pelik dan menyakitkan? Itu masalahnya.
Apakah kau bisa mensyukuri luka hatimu kepedihan dan penderitaan yang kau rasakan dengan rasa syukur yang sama dengan kebahagiaan yang kau kecap. Di situlah ujian terberat.”
Baca juga : Hikmah di Balik Peristiwa
“Jangan sekali-kali menghitung amal baikmu sebagai jalan agar Allah menyelesaikan masalahmu. Sebab bukan karena amalan yang banyak yang kau lakukan menyebabkan masalahmu selesai. Itu sama saja kita menyembah amalan kita”
“Tapi sebab rahmat Allah, kasih sayang dan ampunanNya-lah yang menyebabkan semua persoalan manusia terselesaikan.”
“Bukan karena amalanmu sehingga mengantarkan kau masuk Surga tetapi karena rahmat Allah yang menyebabkan engkau masuk surga,” ujar Ibu bijak itu mengutip pesan bijak ulama termahsyur, KH Umar Shihab.
Mengapa kita harus beramal baik dengan ikhlas, tulus dan penuh tawadhu?
Sebab itu akan menjadi bukti tentang cintamu kepadaNya, tentang ketaatanmu kepada Allah SWT.
Kita pun tidak tahu, dari amal baik yang mana yang akan menyebabkan turunnya rahmat Allah kepada kita. Maka, beramallah sebagaimana harusnya seorang hamba yang mencintai Tuhannya dalam berbagai bentuk cobaan apapun.
Baca juga : Sabar, Harapan dan Doa Yang Terijabah
Tetap bersyukur saat gembira, dan tetap bersyukur dan bersabar ketika susah. Mungkin itulah yang dimaksud Allah kepada HambaNya, tutur Ibu bijak itu.
Air mata perempuan muda itu, kembali menderas mengalir di pipinya. Itu karena dia menyadari kekeliruannya selama ini. Tak memahami bahwa Allah menurunkan hikmah dari setiap persoalan hidup yang dialaminya.
Dia hampir terlupa hanya mengingat kesedihan dan penderitaan, sehingga hampir lupa bersyukur pada nikmat-nikmat Allah yang lainnya.
Selain itu, dia terlupa bahwa Allah telah menjanjikan akan menurunkan hikmah dari peristiwa sedih yang dialaminya. ****
Tello, 17 Ramadan 1443 Hijriyah