MEMASUKI malam Ramadan ke-tiga 1443 Hijriyah, atau 5 April 2022 untuk penanggalan masehi. Di sebuah masjid kecil di salah satu kompleks perumahan di Makassar. Salah seorang bapak yang menjadi MC pada shalat taraweh di masjid itu berceloteh. Tentang jamaah shalat Isya menuju taraweh yang mulai berkurang. Rupanya dia mengamati sejumlah jamaah lain yang dua hari sebelumnya terlihat hadir, malam itu tak tampak lagi di antara barisan shaf.
Kata Pak MC, “Mungkin karena keberatan dengan jalangkote sehingga tak bisa lagi hadir shalat taraweh berjamaah”. Tak lupa Pak MC tertawa kecil entah karena jamaahnya yang kekenyangan atau tentang jalangkote yang membuat orang kekenyangan. Jalangkote adalah sejenis pastel, penganan kecil yang sangat terkenal di Makassar dan kota lain di Sulawesi.
Yang jelas bagi saya, tawa kecil Pak MC karena selorohnya tentang jamaah yang kekenyangan makan kue terkesan sinis. Saya jadi miris.
Setelah menyampaikan berbagai informasi untuk jamaah, lalu Pak MC mengundang Penceramah untuk tampil. Tak lama, Pak Ustadz yang membawakan ceramah malam itu naik mimbar. Saya lupa apa tema yang dibawakannya malam itu. Namun cukup menggugah.
“Sebelum saya ke masjid ini, saya sempat mampir di salah satu mini market di pinggir jalan. Saat masuk itu, saya mendengar lantunan ayat Al-quran yang diputar oleh salah satu petugas di Mini Market itu. Saya yakin, tentu dia salah satu muslim yang ingin sekali melaksanakan shalat tarwih berjamaah seperti kita malam ini. Tapi, dia terkendala oleh kewajibannya untuk melaksanakan pekerjaannya malam ini,” ujar Pak Ustadz.
Bukan hanya itu, kata Pak Ustadz, ada banyak lagi muslim muslimah di luar sana, yang malam ini sedang melaksanakan kewajibannya bekerja dan tak bisa ikut shalat taraweh meskipun mereka sangat ingin melaksanakan seperti kita malam ini. Misalnya perawat yang bertugas di rumah sakit, Pak Satpam yang kebagian jaga malam dan harus ronda di kantornya, banyak lagi petugas yang harus menjaga fasilitas umum agar semua bisa berjalan lancar untuk masyarakat.
Karena itu Pak Ustadz meminta jamaah di masjid itu untuk banyak-banyak bersyukur. Sebab, Allah swt masih memberi kesempatan kita untuk bisa melaksanakan shalat sunat taraweh berjamaah. Karena di luar sana ada yang ingin namun terkendala oleh kewajiban yang tak kalah penting lainnya. Ada lagi muslim muslimah lain yang tak bisa hadir karena sakit, padahal mereka pun sangat ingin melaksanakan shalat yang hanya ada setahun sekali itu.
Lalu, Pak Ustadz bercerita mengapa Rasulullah Muhammad SAW hanya pernah melaksanakan sebanyak 4 kali saja shalat taraweh berjamaah di masjid.
“Sebab alasan Rasulullah, jangan sampai para sahabat melihat shalat sunnah taraweh ini menjadi kewajiban.” Jadi Pak Ustadz menegaskan tentang status shalat taraweh ini dengan mengutip kisah Rasulullah.
Saya tertegun. Ceramah Pak Ustadz barusan seperti meng-counter pernyataan Pak Moderator tadi tentang jamaah yang tak kelihatan lagi karena mungkin kekenyangan saat berbuka puasa tadi.
Ketimbang menyalahkan jamaah lain tak terlihat shalat berjamaah, kita sebaiknya lebih banyak bersyukur karena masih diberi kesempatan oleh Allah untuk menikmati nikmat iman.
Hebatnya lagi, Pak Ustadz tak menuding sesiapa tentang mengapa jamaah tak hadir ikut shalat berjamaah. Dia mengingatkan dengan cara yang lembut dan menyentuh relung kalbu.
Saya merenung. Mengingat-ingat pesan yang saya pernah dengar dari ustadz lain bahwa seringkali orang-orang yang melakukan kebaikan “terperangkap” dosa, tanpa dia sadari, atas amal yang dia kerjakan.
Seolah-olah, karena rajin shalatnya, karena rajin bersedekahnya, karena kepeduliannya kepada orang yang dipertontonkan, sehingga tanpa sadar dia merasa seolah paling alim di antara orang lain.
Tak dia sadari, bahwa setan telah masuk dalam aliran darahnya membisikkan rasa jumawa dan rasa paling beriman di dalam hatinya. Padahal bukan itu yang dikehendaki Allah swt dari amal perbuatan baik seseorang.
Seharusnya, semakin berilmu dan alim seorang hamba, maka seharusnya semakin tawadhu, rendah hati terhadap orang lain . Selalu berprasangka yang baik terhadap hal-hal apa saja, bahkan untuk hal buruk sekalipun. Sehingga tak perlu menilai seseorang karena tak dapat melakukan amalan baik seperti dia.
Saya tercenung. Betapa hebatnya setan menyusup di hati ummat manusia, sehingga bahkan untuk hal-hal yang baik yang kita kerjakan pun bisa tak bernilai apa-apa di mata Allah swt karena telah diisi dengan perasaan bangga, ujub dan takabur. Wallahu Alam bissawab
Tello, 4 Ramadhan 1443 H