SEORANG kawan mengirimkan video sebuah bangunan masjid di salah satu wilayah di Ibu Kota Kabupaten Luwuk Banggai Sulawesi Tengah. Bangunan masjid itu sebenarnya jauh dari layak disebut bangunan, apalagi tempat ibadah. Maafkan bila saya menyebutnya lebih mirip kandang hewan peliharaan yang bersih belum digunakan. Selain atapnya yang terbuat dari seng dan sedikit tiang kayu yang seadanya dengan dinding yang terlilit dari bahan plastik berwarna warni, biru dan kuning.
Kawan ini mendakwahkan tentang betapa mirisnya kondisi masjid itu. Perlu bantuan dana untuk membangun lebih layak. Sayapun mengakuinya. Mengusik sekaligus memaksaku merenung. Di sebuah kota kabupaten di wilayah yang seharusnya masih masuk bagian dari ibukota, mengapa bisa ada masjid seperti itu?
Saya bertanya kepada kawan, apakah tidak ada masjid di sekitar wilayah itu? Bukannya di setiap daerah yang penduduknya banyak muslim akan banyak bangunan masjid? Lalu mengapa warga itu masih harus membangun masjid seadanya untuk beribadah? Mengapa mereka tidak ke masjid yang paling terdekat dari rumahnya?
Saya tidak sedang menafikan betapa pentingnya kehadiran masjid di tengah umat. Di jaman Rasulullah Muhammad SAW, masjid bukan hanya tempat untuk mendirikan shalat lima waktu. Banyak fungsi masjid saat itu. Tempat berdakwah, bahkan tempat untuk membahas masalah kepemimpinan dan umat. Itu sebabnya, rumah Rasulullah berada dalam kompleks Masjid Nabawi, Medinah.
Beberapa kali dalam berurusan membuat saya harus melalui jalur darat, mengendarai kendaraan berhari-hari melewati jalan trans Sulawesi. Di sepanjang perjalanan saya menikmati melihat pemandangan di setiap kampung dan jalan yang saya lalui. Ada begitu banyak mesjid yang indah di pinggir jalan utama di setiap kota, perkampungan dan permukiman warga. Banyak dan saling berdekatan. Bahkan suara adzan dari satu masjid ke masjid lain saling bersahutan. Bahkan ada yang berjarak yang tidak terlalu jauh, tidak serentak berkumandang.
Namun bukan itu yang saya maksud. Tetapi pemandangan di dalamnya. Begitu masuk ke masjid yang indah dari luar, pemandangan berbeda terlihat di dalamnya. Tak sedikit masjid yang tak terurus, berdebu, karpet dan sajadah yang lapuk.
Sedihnya lagi, shaf pada saat shalat Magrib yang jumlahnya tak lebih dari 1 shaf dan paling banyak 2 shaf pada hari-hari biasa, bukan pada saat Bulan Ramadhan. Jangan tanya saat shalat Subuh. Lebih menyedihkan.
Seperti Masjid di sebuah kompleks perumahan di Kabupaten Sigi. Sang Imam bertindak sebagai Muadzin, Imam shalat, bahkan seringkali pada hari Jumat menjadi Khatib sekaligus Imam. Entah tidak ada pengurus lain di Masjid itu yang bisa berbagi tugas, semuanya dirangkap satu orang pengurus saja.
Lalu mengapa kita harus membangun masjid jika jumlah penduduknya tak banyak? Atau jaraknya masjid satu tidak terlalu jauh dari masjid lainnya di satu wilayah itu? Lalu masjid menjadi seperti Menara Gading, atau Mercusuar yang megah dari luar namun sepi penghuni dan terasa tak hidup.
Atau ada masjid yang isinya hanya Imam. Imam sekaligus Muadzin sekaligus Ma’mum karena tak ada muslim lain yang shalat bersamanya.
Mengapa kita tidak pikirkan bagaimana agar masjid itu di wilayah itu ramai muslim yang shalat di sana dan beraktivitas lainnya. Bagaimana caranya kita memikirkan agar jumlah shaf dalam masjid bertambah tidak hanya satu dua shaf pada shalat Magrib, Isya dan Shubuh. Mengapa kita tidak menggerakkan dan membangun umat yang tua dan muda agar mau shalat di Masjid?
Bagaimana agar umat memahami makna shalat di masjid berjamaah, mengapa ada perintah itu untuk muslim? Bagaimana menggugah kembali ingatan mereka bahwa setiap langkah menuju masjid, dihitung sebagai satu pahala?
Dan tak kalah pentingnya, bagaimana umat yang shalat dalam masjid itu mengetahui mengapa muslim yang lainnya kesulitan, kesusahan untuk melangkahkan kakinya ke Masjid, shalat berjamaah?
Jangan-jangan kita tak tahu bahwa saudara muslim kita yang tak bisa ke masjid itu karena berbagai kendala. Mungkin kelelahan bekerja seharian lalu hasil kerja itu hanya bisa dimakan hari ini saja. Besok dia pun harus bekerja atau mencari pekerjaan agar bisa makan untuk besok.
Mungkin juga malah mereka sedang kelaparan bahkan untuk berdiri tegak shalat di rumahpun kesusahan.
Mungkin saudara muslim kita tak bisa berjalan kaki karena kakinya sakit meskipun keinginannya untuk ke masjid sangat besar.
Kawan itu bercerita, dia baru saya menyantuni seorang sepuh, perempuan tua hidup sendirian tak bernafkah, harus mencari makan sendiri, sebab tak punya seorang sanak saudara pun untuk berbagi dengannya.
Aah, ada banyak persoalan, terutama masalah ekonomi di umat ini yang seharusnya menjadi bahan pemikiran muslim lainnya. Tidak hanya hidup sendiri, beribadah sendiri dengan nyaman, tak peduli dengan ibadah saudara muslim yang lainnya.
Bayangkan ada berapa banyak saudara muslim kita yang mengalami nasib yang tidak senyaman muslim lainnya. Bukankah ada hadits yang menyatakan “Hampir saja Kefakiran (kemiskinan) itu menjadi Kekafiran”. Meskipun hadits ini dinyatakan hadits yang lemah karena perawinya yang lemah. Setidaknya perkataan baik ini mengingatkan bagaimana kemiskinan harta dan juga kemiskinan jiwa membuat orang menjadi kufur.
Bagaimana ya agar saudara muslim di sekitar kita yang hidupnya sederhana pun bisa beribadah dengan nyaman, setidaknya untuk ukuran “nyaman” itu tidak membuat mereka meninggalkan shalatnya.
Bagaimana bisa menyantuni perempuan sepuh itu, agar bisa makan setiap hari. Bisa berdiri tegak untuk menunaikan shalat di rumahnya atau di masjid terdekat.
Saya sendiripun hanya bisa bertanya pada diri, tak mampu melakukan semua. Saya hanya bisa menceramahi diri sendiri. Mengingatkan diri sendiri bahwa saya masih punya kewajiban menyantuni satu bahkan dua muslim yang terdekat dengan diriku. Semoga***
Tello, 26 November 2021