Batas Langit
No Result
View All Result
  • Woman Talks
  • Refleksi
  • Ihwal
  • Ragam
  • Ruang Keluarga
No Result
View All Result
  • Woman Talks
  • Refleksi
  • Ihwal
  • Ragam
  • Ruang Keluarga
Batas Langit
No Result
View All Result

Untukmu yang Pernah Mengajakku Menikah

Anita Anggriany Amier by Anita Anggriany Amier
August 5, 2021
0
Readers: 409

AKU harus memulai darimana? Ketika perasaan tak terbendung lagi untuk menceritakan padamu. Lama kusimpan. Menunggu waktu menyembuhkan lukamu dan lukaku.

Semalam aku bermimpi. Di tepi pantai yang tertutupi bangunan-bangunan cottage. Aku berjalan dengan dada telanjang, hanya mengenakan celana dalam. Membawa buku-buku tebal bertumpuk-tumpuk yang hampir menutupi wajahku. Rambut sepunggung, kulepas tergerai. Dengan jepit satu di bagian depan.

Tak sangka ada engkau berdiri menatapku saat melintas di jalan itu, diantara cottage itu. Betapa menyenangkan, namun malu setengah mati. Sadar bila aku bertelanjang dada. Berusaha kututupi wajah dengan buku, namun aku tahu kau melihatku dengan senyum. Aku berlalu dengan rona merah di pipi. Kita sama-sama masih berusia 20-an tahun dalam mimpi itu. Kita berbeda setahun.

Apakah ini rindu? Setelah belasan tahun kita melewati hari-hari yang berbeda. Belakangan aku sering melihatmu di foto-foto yang berseliweran di media sosial. Kau tampak tua dan matang, tetapi bahagia bersama anak dan isterimu. Senang sekaligus pedih melihat gambarmu. Meskipun aku mendoakan kebahagiaanmu sejak dulu.

Sebenarnya, ini bukan mimpi pertamaku bertemu denganmu. Uniknya, setiap mimpi itu selalu kita sedang berada di anak tangga sebuah gedung. Pernah engkau di tangga sebelah dan tinggi. Sedang aku menatapmu dari anak tangga yang lebih rendah. Dan kau tak membalas tatapanku. Kau terus menapak tak menghiraukanku.

Lalu mimpi berikutnya, aku di anak tangga yang lebih tinggi dan kau baru menapakinya. Meski aku berusaha menunggu, kau acuh tak acuh. Kita memang tak bisa bersama. Dari mimpi itu aku berkeyakinan, kau sudah melupakanku dan tak ingin mengingatku lagi.

Masih terbayang belasan tahun silam. Malam lepas magrib, kau menelponku. Kita terpisah kota. “Dinda, menikah yuk,” katamu pelan. Terkejut sejenak. Senang dan hatiku berbunga-bunga. Aku terdiam lama. Tetapi akhirnya kumenolak lamaranmu.

“Aku belum siap,” kataku lirih. Alasan ingin berkarier, ingin punya penghasilan sendiri, serta takut pindah mengikutimu di kotamu tanpa pekerjaan. Kau terdiam mendengar jawabanku. Lalu kita bercerita yang lain saja.

Andai saja engkau tahu. Kumenolak lamaranmu, bukan karena tak mencintaimu. Betapa aku mencintaimu dalam dan tulus. Akulah yang pertama memelukmu saat kita bertemu di kotamu setelah terpisah jarak seusai kuliah dulu. Aku yang mendekapmu erat, tanpa malu. Begitulah cintaku merekah kepadamu. Ingin selalu menggenggam tanganmu dan memelukmu erat.

Kalau saja kau tahu betapa terluka hatiku menolak lamaranmu. Sementara sesungguhnya aku menunggu saat indah itu tiba. Tahukah kau, kota yang berbeda, pekerjaan dan karier, hanya sebuah kebohongan untuk menutupi perasaanku sesungguhnya.

Tahukah kau, aku menolak lamaran itu karena aku tak pantas untuk dirimu. Kau lelaki baik, mencintai dan menyayangiku dengan tulus. Kau lelaki suci.

Sementara aku, perempuan tak suci lagi. Meskipun aku tulus mencintaimu dan mendambamu setiap waktu. Air mataku tumpah mengenang aku harus menolakmu agar kau bisa menemukan perempuan baik seperti dirimu.

Kalau saja kau tahu, aku memilih menolak lamaranmu bukan karena tak ingin hidup bersamamu. Tau kah kau bagaimana hatiku terluka ketika berdalih ingin berkarier daripada membangun rumah tangga denganmu. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana kecewa dan sakit hatimu ketika tahu aku tak perawan lagi saat hari pertama kita.

Seseorang yang seharusnya menjagaku, malah merusakku dan masa depanku. Dia yang harusnya mengawalku, menjagaku, malah mengangkangiku. Sakit luar biasa. Dia itu yang selalu kupanggil paman. Lalu aku harus diam untuk menjaga marwah dia sebagai orang penting, juga karena tak ingin menghancurkan keluarganya.

Pernah suatu masa, aku seperti orang gila. Tak tahu harus bagaimana. Seperti makan buah simalakama. Mengadu kepada keluarga, akan merusak rumah tangga lelaki terhormat di klanku. Diam, aku menanggung nestapa itu sendiri. Hingga kini, luka yang tak pernah sembuh. Meski aku selalu meminta Tuhan mengobati lukaku. Aku meminta Tuhan aku bisa memaafkan lakilaki itu.

Setelahnya, hidupku tak lagi sama. Dari kehancuran ke kehancuran berikutnya. Sampai pernah rasanya aku tak percaya Tuhan. Bertanya salahku kepadaNya sehingga terjerembab dalam lumpur seperti ini. Hingga akhirnya aku menolak lamaranmu.

Sampai pada suatu hari, engkau kembali menelponku. “Dinda, seseorang mengajakku menikah. Aku tak pacaran dengannya. Ibunya menyukaiku. Bagaimana menurutmu? Apakah aku harus menunggumu. Aku jujur kepada mereka aku memiliki kekasih, kamu yang kunanti,” ujarmu. Aku menangis dalam hati. Pedih nian menyadari bahwa pada akhirnya masa itu tiba. Aku harus melepasmu pergi.

“Kang, menikahlah dengannya perempuan yang menyintaimu itu. Dia baik kan? seperti dirimu? Lelaki baik takdirnya bertemu dengan perempuan baik,” tuturku. Malam sebelum akhirnya kau melangsungkan akad nikah, kau menelponku.

“Dinda, besok pagi aku akad nikah. Dinda kamu bahagia kah? Kalau kamu bahagia, akupun bahagia,” tuturmu lembut. Aku tahu ada duka di sana. Aku menjawab dengan ceria ditengah kehancuran. Dunia terasa berputar. Aku tak berpijak pada bumi.

Belasan tahun berlalu dengan beberapa mimpi dimana kita selalu berselisih jalan. Malam ini mimpi bertemu denganmu yang muda belia dan tersenyum mempesona. Aku berharap kau baik-baik saja.

——–===———–

Nadya menutup diari itu dengan derai air mata. Buku yang selalu menemani ibunya, sampai akhir hayatnya. Buku itu kini tergeletak di samping tubuh ibunya yang terbujur kaku. Sejak sakit hingga dirawat di rumah sakit, ibu berpesan kepada Nadya untuk menjaga bukunya. “Simpankan buku itu sampai ibu mati nanti. Bakarlah setelah jasad ibu masuk di liang lahat, Nak.”

Setelah melepas jasad ibunya ke pembaringan terakhir, Nadya, gadis muda yang tak tahu siapa bapaknya itu, bergegas ke tepi pantai, yang pantainya tertutup cottage-cottage. Dia melarungkan abu sisa pembakaran diari ibunya. “Biarlah kenangan ibu berlalu bersama dirinya yang pergi,” bisik hati Nadya pilu. (***)

Tags: fiksimenulis fiksi
Share300Tweet187Share75
Anita Anggriany Amier

Anita Anggriany Amier

Next Post
Jangan Mencemooh, Empatilah

Aku Tak Akan Menangis Lagi

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Facebook Twitter Youtube Vimeo Instagram

Navigate

  • Home
  • About
  • Archives
  • Contact

Category

  • Cerpen
  • KONTEMPLASI
  • News Flash
  • Ragam
  • Refleksi
  • Ruang Keluarga
  • Uncategorized
  • Woman Talks

BatasLangit © 2020

No Result
View All Result
  • Home
  • About
  • Contact

BatasLangit © 2020