PADA Hari Raya Iduladha 1442 Hijriyah kali ini, dikesendirian saya membayangkan sambil berupaya merasakan bagaimana suasana bathin saya bila berada di sisi Nabi Ismail AS saat perintah sembelih itu datang.
Untuk sebuah keyakinan, tentang cinta yang dalam kepada Allah SWT, yang tak tersentuh mata dan raga, namun ikhlas dan menerima permintaan ayahandanya, orang yang dikasihinya yang justeru membawa perintah penyembelihan.
Pun pada puncak Iduladha 1442 Hijriyah ditengah-tengah khotbah saya mencoba merenungkan bila saya berada pada posisi Nabi Ibrahim Alaihissalam. Menyembelih anak, putera semata wayang, mengorbankan anak yang dikasihi demi membuktikan tauhidnya, cintanya yang lebih kepada Allah SWT yang tak tersentuh mata dan raga.
Membayangkan berada pada posisi keduanya, menetes air mata saya. Bergetar. Takut, takjub, dan terharu. Baru membayangkan yang sedikit, sudah tak sanggup bathin saya. Betapa jauuuh sekali saya dari Ibrahim AS dan puteranya Ismail AS, kedua hamba Allah SWT yang agung dan soleh itu.
Ini tentang pembuktian Keimanan dan Cinta hanya kepada satu-satunya Maha Pencipta. Bahwa iman tak hanya disebut dalam kata. Bahwa tak disebut beriman seorang muslim bila tak diuji. Puncak ujian adalah ikhlas dan sabar menerima apapun kehendak sang Khalik. YaRabb, tak sampai ilmuku yang hanya sebutir debu untuk mengungkap rahasiaMu dan CintaMu kepada mahluk ciptaanMu. Betapa hanya debu.
Pada Iduladha 2021 Masehi, dalam keterasingan di antara orang-orang yang bersujud kepadaMu, dalam ketertundukan, kesedihan, kepasrahan, nyata bagiku bagaimana pada akhirnya semua amal, semua dosa, akan kupertanggungjawabkan sendiri kelak kemudian hari.
Tak ada suami, tak ada anak, tak ada handai tolan, tak ada satu makhluk pun tempat untuk bergantung. Hanya kepadaMu tempat bergantung tempat memohon perlindungan. Betapa hanya sebutir debu di semesta ini. Bagaimana Aku menggapai-Mu ya Rabb. ***
Tello, Iduladha, 1442 Hijriyah