IVF, pelajari sebelum menggunakannya. Apa itu IVF? Kemajuan teknologi selama 4 dekade terakhir ini seolah memberikan harapan kepada pasangan untuk bisa memiliki anak melalui teknologi. Salah satunya adalah program In Vitro Fertilization (IVF). Program ini menjanjikan bahwa wanita bisa memiliki anak.
Kenyataan tidak semudah yang dibayangkan.
Baca juga : Mencintai Dengan Sederhana
Ahli kesehatan mental, DR Max Pemberton mengatakan sejauh menyangkut alam, memiliki anak bukanlah sekadar hak setiap manusia, yang bisa dia akses kapan saja. Namun memiliki anak adalah hak istimewa secara biologis, yang memiliki kerangka waktu yang ketat.
Max mengatakan, dia telah melihat bagaimana perempuan yang ‘jatuh’ karena mereka meninggalkan peran sebagai ibu sampai pada usia 30-an. Bahkan usia 40-an. Lalu mereka berpikir mereka bisa ‘membeli’ anak dengan teknologi, seperti dikutip dari Dailymail Senin (14/6/2021).
“Ketika mereka gagal, mereka tersiksa dengan kesedihan dan rasa bersalah karena terlambat menyadarinya,” tulis Pemberton.
Kenyataan bahwa program IVF untuk wanita berusia 42 hingga 43 tahun, hanya 3 persen yang berhasil. Bagi mereka yang berusia di atas 44 tahun, tingkat keberhasilannya adalah 1 persen.
Baca juga : Keajaiban dalam Cinta…
Pesan dari statistik ini adalah bahwa IVF jarang berhasil dan wanita tidak boleh mengandalkannya untuk dapat membantu mereka.
“Namun wanita diyakinkan secara keliru bahwa IVF akan memberi mereka apa yang mereka inginkan,” tandas Max Pemberton.
Di Inggris, pekan lalu Lembaga yang menangani Otoritas Persaingan dan Pasar meminta semua klinik yang melakukan IVF harus menjelaskan kepada pasien tentang tingkat keberhasilan dan biaya mereka.
Pedoman National Health Service Inggris merekomendasikan bahwa wanita di bawah usia 40 harus ditawarkan tiga siklus. Dan mereka yang berusia antara 40 dan 42 hanya menawarkan satu. Sedangkan wanita di atas usia 42 tidak dianjurkan sama sekali. Karena tingkat keberhasilan yang sangat rendah.
Sementara biaya untuk mengikuti program ini tidak murah. Beberapa klinik mengenakan biaya hingga 20.000 Poundstreling atau setara Rp400 juta per siklus IVF.
Meskipun Otoritas Fertilitas dan Embriologi Manusia (HFEA) menyarankan agar biayanya tidak lebih dari 5.000 Poundsterling atau setara Rp100 juta.
Harganya sering meningkat karena klinik menawarkan ‘tambahan’, perawatan yang konon membantu peluang kehamilan yang sukses.
Baca juga : Kengerian Dibalut Romantisme
Namun, sebuah proyek penelitian oleh Carl Heneghan di Universitas Oxford menemukan sebagian besar tambahan ini tidak diperlukan. Dengan beberapa tidak memiliki bukti yang mendukungnya sama sekali.
Bukan hanya tingkat keberhasilan IVF yang sangat rendah yang sering diabaikan. Namun aspek psikologis melalui prosedur ini, juga diabaikan oleh industri. Rasa panik. Terutama untuk wanita yang lebih tua yang memiliki rasa panik seiring berjalannya waktu.
Pasangan yang memulai IVF untuk pertama kalinya akan berjuang untuk menghargai betapa melelahkan, mengecewakan, membuat frustrasi. Dan pada akhirnya, bagi banyak orang, itu akan sia-sia. Bahkan bagi mereka yang berhasil, kerja keras pengobatan dapat membuat saraf tegang dan hubungan menjadi kaku.
Baca juga :Ada Kisah Dibalik Nama Lilibet, Puteri Kedua Pangeran Harry dan Meghan Markle
karena teknologinya ada, lalu muncul anggapan bahwa mereka yang berjuang untuk hamil harus menempuh jalur IVF tanpa perlu bertanya.
Orang-orang tidak banyak berbicara tentang dampak negatif IVF. Sehingga ketegangan psikologis dan fisik yang ditanggung pasangan, biaya sebenarnya, tidak pernah ditayangkan dengan benar.
Ada perasaan bahwa perawatan ini dijual sebagai jawaban pasti untuk ketidaksuburan. Bahkan ketika kenyataannya jauh lebih mudah melakukan kehamilan dengan jalan normal. ***