ERNI Aladjai, perempuan kelahiran Desa Lipulalongo, Kecamatan Labobo, Kabupaten Banggai Laut menulis buku “Ramuan Nenek”. Isinya tentang ramuan obat-obatan, cara perawatan yang selama turun temurun digunakan sebagai pengobatan pascamelahirkan di desanya, di Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah.
Erni mengumpulkan satu persatu resep, bahan-bahan ramuan, tata cara perawatan, lalu menuliskannya. Semula dia melakukan penelitian tentang pengobatan pascapersalinan di desa untuk mengarsipkan, agar tak hilang dari ingatan orang-orang di kampungnya.
Sebab budaya Bakalesang Lapa Monsung atau perawatan perempuan pascapersalinan dengan mengandalkan tanaman obat sudah jarang dipraktikkan di desanya. Apalagi setelah tahun 2000-an, praktik perawatan ini hampir tak pernah lagi dilakukan dalam keluarga-keluarga Banggai.
“Tujuan saya mengarsipkan tata cara dan ramuan tanam obat dalam Buku Ramuan Nenek, karena saya merasa hal itu penting,” ujar Erni.
Dengan kondisi desanya yang merupakan pulau terluar dan jauh dari akses kesehatan, memanfaatkan tanaman obat yang mudah didapat di lingkungan sekitar bisa jadi pilihan yang memudahkan jika dilihat secara ekonomi.
“Dalam buku ‘Ramuan Nenek, Pengalaman Perawatan Tradisional Pasca Persalinan Suku Banggai’ ini saya tak sekadar membicarakan tanaman obat. melainkan ada bentuk dukungan perempuan terhadap perempuan setelah persalinan,” ujarnya.
Karena menurut Erni, momen pasca persalinan sama kerasnya dengan persalinan itu sendiri. Sehingga Ibu pascapersalinan membutuhkan dukungan dalam perawatan tubuhnya.
“Inilah yang ada dalam budaya ‘Bakalesang Lapa Monsung’— perempuan merawat perempuan pasca persalinan,” tutur Erni pada Diskusi Buku “Ramuan Nenek” beberapa waktu lalu.
Buku Ramuan Nenek sebenarnya telah terbit sejak 2018. Dalam bentuk buku digital dimana setiap orang dapat mengunduhnya gratis. Namun untuk itu, mereka harus terhubung dengan internet.
Sebagai orang Banggai, novelis yang karyanya telah mengantarnya terbang hingga ke San Fransisco, Amerika itu, Erni merasa bertanggung jawab mendokumentasikan perawatan kebudayaan itu dalam merawat tubuh perempuan setelah melalui kerasnya masa persalinan,
Dalam bukunya, Erni juga menuliskan mantera-mantera yang digunakan orang tua pada saat mulai memetik daun untuk ramuan. Termasuk berapa jumlah helai daun yang perlu dipetik, hingga saat mengunakannya. Mantera ditulis menggunakan bahasa Banggai namun diterjemahkan ke dalam Bahasa. “Secara nilai, proses kelahiran adalah peristiwa alam yang saling terkait. Jadi tumbuhan tidak dipetik begitu saja, melainkan harus ada komunikasi yang setara antara tumbuh-tumbuhan dan manusia,” katanya.
Menurut Penerima Hibah Cipta Perdamaian dari Yayasan Kelola Jakarta ada banyak kebaikan yang diperoleh setelah melalui perawatan dengan menggunakan ramuan dari dedaunan, rimpang dan rempah ini. Apakah dalam bentuk minuman atau spa alami dan pemijatan.
“Saya beryukur nenek saya mewariskan pengetahuan ini kepada ibu saya, lalu ibu saya kepada saya, sehingga pengetahuan tak terputus dalam generasi saya, dan saya secara pribadi meyakini tumbuh-tumbuhan jauh lebih baik dan minim efek samping,” ujar alumnus Sastra Prancis, Universitas Hasanuddin itu.
(***)