Jangan Ada Ghibah di Antara Kita “Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan purba sangka (kecurigaan). Karena sebagian purba sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (QS:Al Hujurat;12)
Ceramah subuh di masjid kompleks rumahku, di Ramadhan hari ke-16 cukup mengusik jiwa. Temanya soal Ghibah. Penceramahnya seorang Profesor yang menjelaskan dengan detail apa itu ghibah dan bagaimana ghibah itu sangat tipis batasnya dengan seolah-olah memuji orang lain.
Baca juga : Jangan Mengukur “Bajumu” Untuk Orang Lain
Ini mengusik memang. Sebab komunikasi dengan siapapun selalu kita lakukan setiap waktu. Dengan orang di dalam rumah sendiri, tetangga, teman sekantor. Bahkan teman lain kantor bahkan saudara lain pulau pun, komunikasi bisa terjadi setiap saat. Dan ghibah kata Profesor itu, bisa terselip di antara interaksi kita dengan orang lain. Tanpa kita menyadarinya.
Contohnya kata dia, pernyataan seperti : “Sebenarnya, dia itu orang baik, tetapi…”. Ketika kita sudah menyebut dengan kata tetapi, itu artinya ada sisi buruk yang ingin kita ceritakan tentang orang baik itu. Begitu kata Profesor.
Masih banyak contoh lain. Misalnya seperti yang saya bahasakan, “Untung saya tiga saja salahku, dibandingkan dengan dia…”Tanpa sadar kita terjebak pada mengghibah orang lain, bahkan saudara kita. Di kalimat ini pun terselip Riya’ memuji diri sendiri.
Sebegitu dahsyatnya dosa ghibah ini, hingga Allah SWT mengibaratkan berghibah itu seperti kamu memakan bangkai saudaramu yang sudah mati. Bayangkan seperti apa memakan bangkai saudara kita yang mati? Baru membayangkan ayam tiren rasanya jijik sekali. Apalagi bangkai manusia dan saudara kita sendiri.
Baca juga :Yang Mana Ibadah Kita, Takut, Mengharap Atau Cinta?
Ingat kan kisah penjualan ayam Tiren yang sempat marak tempo lalu? Itu loh, Ayam mati yang sudah jadi bangkai (tiren, mati kemarin), tetapi dijual di pasar-pasar tradisonal oleh oknum pedagang nakal.
Jujur saja ceramah ini seperti menyentil kuping sendiri. Seringkali kita tak sadar, bahkan dengan sadar menggunjingkan apa saja. Paling sering keburukan orang. Entah mengapa, ada rasa yang sulit dijelaskan kata-kata, ketika kita menemukan keburukan-keburukan orang lain.
Mungkin ya, ini dalam pikiran saya, saya puas ketika tahu kawan saya, tetangga saya, bahkan saudara saya tidak sempurna. Seperti menemukan teman senasib, bahwa di dunia ini bukan hanya saya tidak sempurna. Mereka juga tak sempurna. Hahahaha… Konyol memang.
Sebenarnya, Aid Al Qorni, penulis buku “Laa Tahzan” telah mengingatkan kita dalam bukunya yang best seller itu, bahwa sudah sepatutnya kita selalu merasa lebih buruk dari orang lain. Bahkan dengan orang jahat sekalipun. Kita harus tetap menganggap bahwa suatu saat orang jahat itu akan jauh lebih baik dari kita.
Baca juga : Segalanya Harus Positif, Kecuali Covid19
Itu bisa saja terjadi, ketika Allah SWT menghendaki. Dan itu memang banyak terjadi. Orang-orang yang masa lalunya buruk, namun ketika sang Khalik menghendaki, malah kehidupan pribadinya di saat ini jauh melampaui kebai kan orang-orang yang sudah baik sebelumnya. Wallahualam.
Mmh, meski terasa pahit, tetapi ceramah ini hakikatnya menjadi obat hati. Namanya obat, pasti selalu pahit dan getir. Tak enak. Namun bukankah obat itu menyembuhkan? Semoga akan selalu ada ceramah seperti ini yang bisa menyembuhkan hati ummat manusia yang setiap saat tak pernah sepi dari godaan setan. Amiin yaRabb (***)
Tello, 16 Ramadhan 1442 Hijriah