WAKTU bergerak begitu cepat. tak terasa ini sudah tahun kedua aku dan seluruh umat Islam ber-Ramadhan bersama Covid19. InshaAllah, tak lama lagi pun berlebaran untuk kedua kalinya, dengan pandemi Corona ini. Seperti dua sisi mata uang, ada plus minus dari setiap peristiwa. Termasuk dalam menyikapi pandemi covid19 yang entah kapan berlalu.
Di Ramadhan tahun ini, meskipun masih banyak pembatasan gerakan kepada masyarakat, patut disyukuri, di kompleks perumahan kami, umat Islam sudah bisa menjalankan shalat tarwih dan shalat-shalat wajibnya secara berjamaah di masjid.
Tapi tetap dengan protokol kesehatan yang ketat, jaga jarak dan memakai masker. Cuci tangan? Wudhu, syarat wajib shalat, sudah memenuhi semua kriteria tentang kebersihan badan sebagai syarat protokol kesehatan.
Di tahun kedua ini, suasana bathinku menjalani Ramadhan lebih tenang, lebih tegar dan sabar dibandingkan ketika tahun 2020 lalu.
Tahun lalu, bagiku tahun penuh kepanikan. Takut terhadap virus yang seolah-olah mengintai dan memburu kita menuju kematian, rasa duka dan luka akibat kehilangan orang-orang yang kita kenal akibat virus ini, juga karena harus terpisah dari keluarga karena larangan mudik.
Tahun 2021 pun sebenarnya begitu. Tak bisa pulang kampung. Karena pemerintah melarang. Tak bisa berkumpul dengan keluarga kecilku. Apalagi keluarga besar.Tak apalah, demi kebaikan bersama.
Yang terasa beda adalah, tahun ini ada beberapa minggu aku harus berpuasa tanpa ditemani anakku. Sebab, sejak Ramadhan hari ke-4, dia harus masuk sekolah asrama tiga pekan lamanya. Sementara suami, bekerja di kota dan provinsi yang berbeda. Sedih? Ada sih, tapi tak banyak. Lebih menikmati saja waktu kesendirian ini dengan hal-hal baik. Terutama untuk diriku sendiri. Membaca, menulis dan beristirahat yang cukup. Tiga hal, agak sulit kulakukan bila rumah lagi ramai.
Segala sesuatu harus tetap dipositifkan, kecuali covid19 yang harus negatif. Seperti itu cara memandangnya.
Seperti kata Ustadz penceramah pada saat tarwih, jangan hanya melihat sisi buruk dari covid ini. Ustadz yang menganut paham positivisme ini, menilai covid inipun sebenarnya berkah.
Coba lihat sekitar kita, kata dia. “Kegiatan maksiat berkurang drastis. “Orang-orang yang mau bermaksiat tak berani berdekatan, takut bisa tertular covid,” kata ustadz. Dia juga mengukur dari kehidupan masyarakat yang berubah menjadi lebih dekat dengan agama. Keluarga juga lebih banyak waktu bersama di rumah. Kata dia, covid19 ini diturunkan untuk membersihkan hal-hal buruk di dalam kehidupan manusia di masa lalunya.
Mungkin lupa atau waktu yang terbatas, ustadz tak menyinggung sisi duka dari covid ini. Ketika ekonomi masyarakat menurun. Banyak pengangguran, terjadi pemiskinan akibat lahan-lahan pekerjaan tertutup. Beberapa kawan harus kehilangan mata pencaharian karena ladang mereka ditutup. Sedih? Tentu saja, sangat sedih.
Namun mengikut paham positivisme Pak Ustadz, baiklah mari kita lihat hikmahnya nanti. Namun yang terasa saat ini, sejak pandemi terjadi, kesenangan berbagi dengan sesama manusia menjadi kebiasaan yang positif di masyarakat kita. Mmh tentu sejak dua tahun lalu ya.
Pada hari Jumat pagi, di beberapa ruas jalan protokol di kotaku, banyak warga sederhana berdiri di trotoar jalan. Mereka bergerombol, ada juga yang sendiri-sendiri, menunggu sedekah dari mahluk baik hati yang membagi hartanya.
Selain nasi bungkus, nasi kotak, juga sedekah air minum dan uang. Pemandangan ini cukup menggetarkan hati yang melihatnya. Orang-orang saling mengasihani sesama. Mereka yang memberi dengan ikhlas wajahnya berseri-seri. Lalu mereka yang tangannya menengadah menerima sedekah, beriring dengan doa yang terucap dari bibirnya. Aku yang melihat pemandangan itu pun ikut “kecipratan” rasa bahagia dan turut berdoa.
Bersyukur untuk mereka yang masih bisa melihat dengan kepala dan mata bathin yang jernih ditengah kondisi yang menghimpit. Bisa mengisi suasana kemuraman orang lain dengan berbagi, meski hanya sebungkus nasi dan air putih. Atau bahkan hanya sekadar sapaan dan senyum ramah kepada mereka yang berdiri di trotoar jalan, dan kepada sahabat yang tertimpa musibah kehilangan pekerjaan dan kesulitan hidup lainnya. Itupun sedekah! Semoga semesta dan penghuni langit ikut berdoa agar musibah segera berlalu. (***)
(Tello, 15 Ramadhan 1442 Hijriyah)