Hidup itu seperti perjalanan. Bergerak tak henti. Bahkan tidurpun. Seperti berselancar di pantai, perjalanan kehidupan penuh riak dan gelombang. Sesekali ombak kecil berkejar-kejaran memecah buih. Pada musim tertentu ombak besar datang. Menggulung bahkan melipat kita dan apa saja di hadapannya. Namun pada waktunya kita pun butuh rumah untuk kembali.
Bagi peselancar, mereka akan senang dengan gelombang. Sebab ombak itulah yang membuat mereka bergerak. Bahkan mereka yang terlatih akan dengan mudah menunggangi ombak, meliuk, dan masuk dalam gulungannya yang seringkali indah.
Begitupun hidup. Seperti tak pernah berhenti masalah. Dari satu persoalan ke persoalan berikutnya. Untuk mereka para pencinta kehidupan , masalah itu sepertilah gelombang yang selalu ditunggu, dimana mereka bisa meluncur bersama air yang bergerak.
Baca juga : Gangguan Kecemasan Dapat Menurun Dari Orang Tua Ke Anak
Hebatnya, para peselancar itu, berkali-kali jatuh, dihempas dan mungkin tenggelam, tapi tak pernah jera. Datang lagi ke pantai, dengan riang gembira. Mereka terus saja bermain-main dengan gelombang sepanjang hari. Sampai waktunya pulang.
Dalam perjalanan dan berselancar, ada kalanya kita penat. Juga karena petang datang. Saat itu, harus berhenti sejenak, beristirahat. Kita butuh tempat atau rumah untuk kembali.
Tempat yang membuat kita nyaman, menyenangkan, menentramkan. Rumah dimana hati kita menemukan ketenangan. Rumah niscaya itu adalah Tuhan dan kekuatan doa. Bagi sufi wanita Rabi’ah al Adawiyah, cukupTuhan baginya. Tak perlu ada makhluk lain di hatinya.
Baca juga : Anak-Anak Pemberani
Bagiku, selain Tuhan dan doa, rumah itu juga adalah pasangan hidup. Seseorang dimana kita bisa berbagi resah, berbagi kebahagiaan dan berbagi pelukan, saling menetramkan. Seseorang yang mendorong semangat untuk bangkit esok hari menunggangi gelombang kehidupan. Sampai waktunya untuk benar-benar ‘pulang’ itu datang. ***
Tello, 9 Januari 2021