Pada senja yang temaram. Di tepi pantai. Saat langit berwarna jingga keemasan. Sepasang anak manusia, duduk menatap matahari yang perlahan tenggelam.
Yang perempuan baru belajar mencintai dan sedang jatuh cinta. Yang pria pernah patah hati ditinggal kekasih saat mereka tengah mempersiapkan hari menuju pelaminan. Luka perpisahan karena strata dalam tradisi manusia.
Kedua insan yang menatap senja itu sesungguhnya diikat dalam status pernikahan yang bukan karena cinta. Pernikahan mereka karena sebab kebutuhan hidup keduanya di kota besar. Namun waktu berubah.
Perempuan itu jatuh cinta pada suaminya. Pria itu tahu. Tapi trauma masa lalu membuatnya takut jatuh cinta.
Di tepian pantai yang airnya surut mereka berdialog. Wanita itu tahu, pria yang dicintainya pernah patah hati dan membawanya selama bertahun-tahun.
Lalu, Perempuan muda nan cerdas ini berkata kepada suaminya.. “Kita mungkin berkali-kali datang melihat laut, tapi itu tidak sama. Selalu ada yang beda. Seperti ombak yang bergerak. Ada yang datang, ada juga yang kembali untuk beristirahat…”
“Hanya karena Kau melalui hari ini, bukan berarti Kau tahu apa yang akan terjadi besok.”
“Jadi, tidak perlu takut menghadapi hari-hari seterusnya.”
Perlahan, Pria itu menatap isterinya lembut. Dari matanya berpendar-pendar cahaya cinta yang lama disembunyikan.
Cerita di atas adalah sepenggal kisah dalam drama Korea “Because This Is My First Life” (2017). Saya menyukai drama ini. Bahkan berkali-kali menontonnya untuk menangkap dialog-dialog indah yang terselip di antara kisah komedi percintaan ini.
Hikmah itu terkadang datang dari hal-hal kecil di sekitar kita. Dari kisah kehidupan manusia, bahkan fiksi sekalipun. Seperti drama bergenre romantis dan komedi itu. Dalam dialog-dialog yang bernas dari penulis Yoon Nan Joong, banyak yang bisa dijadikan pembelajaran. Setidaknya untuk diri saya sendiri.
Sebagaimana di tulisan saya sebelumnya “Hidup di Hari ini Saja”… biarkan masa depan menjadi rahasia Tuhan, jangan digalaukan hari ini. ***
Tello, 11 Oktober 2020