Perempuan itu isteri pejabat. Seorang ibu, sekira 50-an tahun. Berwajah cantik, berpipi chubby dengan penampilan mentereng. Dia berjalan di tengah ruang yang telah dipadati tetamu. Wajah penuh riasan, kalung emas panjang seperti rantai menjuntai di dadanya. Gelang emas besar melingkar di tangannya yang juga besar. Dan beberapa cincin emas yang besar menghias jemarinya. Tangan sebelah menenteng tas berbahan kulit branded berlabel merek internasional.
Puluhan pasang mata ibu-ibu tamu menatapnya tak berkedip. Perhiasan yang gemerlap, wajah yang cantik berkat kosmetik ternama, dan tampilannya tentu saja menjadi perhatian bagi mahluk lain, terutama perempuan.
Baca juga : Permata di Antara Bebatuan
Dia tahu, dia menjadi perhatian puluhan tamu saat ini. Itu terlihat dari cara dia tersenyum. Juga lenggak lenggok jalannya yang tak seimbang. Sesungguhnya dia menyimpan rikuh karena menjadi perhatian orang.
Lalu bisik-bisik di sebelahku mengatakan, wanita itu isteri seorang pejabat di negara ini. “Ooh pantas saja,” gumamku.
Di pesta yang sama. Seorang ibu mengenakan baju terusan. Dengan kain bermotif pink salem dan selendang yang disampirkan menutup hijab. Melangkah anggun, berjalan beriringan suaminya, menuju panggung di mana pengantin berdiri menunggu tetamu untuk bersalaman. Wajahnya hanya berpoles bedak dan segaris lipstik dengan warna merah tua. Tak banyak perhiasan terlihat selain senyumnya yang terlihat tulus kepada orang yang melihatnya.
Tas pesta bermotif, sepertinya handmate, buatan tangan. Mungkin mahal, karena terbuat dari roncean manik-manik. Namun jauh dari kesan mewah dan gemerlap.
Ibu dengan tubuh mungil itu, memperlihatkan aura sebagai wanita yang percaya diri. Dari senyum dan cara dia berjalan. Menyenangkan hati. Dari bisik-bisik, saya tahu bahwa suami ibu tersebut tamu khusus tuan rumah, sebab seorang pejabat juga di negara ini.
Baca juga :Menemukan Jalan Kembali…
Lalu, di laman sosial media. Wanita muda, bersuami seorang aparat negara. Berpose pada kendaraan bermerek mahal. Mengenakan baju bermerek, sepatu merek dan tas selempang yang juga bermerek. Memperlihatkan aktifitasnya hari itu sekaligus memamerkan Ootd atau Outfit of the Day-nya atau baju dan semua yang dikenakannya. Hitung-hitung, bisa saja nilai OoTD nya melebihi gaji bulanan suaminya.
“Aah, bisa saja dia mencicil atau dia punya penghasilan tambahan,” pikirku positif.
Saya merenung. Tiga perempuan itu adalah isteri dari pejabat dan aparat negara. Namun ketiganya memiliki pilihan yang berbeda-beda dalam menampakkan eksistensi diri mereka ke publik.
Herannya, saya lebih bersimpatik dan mengagumi ibu yang berbaju terusan, dengan dandanan sederhana dan berjalanan penuh percaya diri. Dibandingkan dua wanita dengan perhiasan menjuntai, barang-barang branded dan posenya seperti tak percaya diri.
Baca juga : Hikmah di Balik Peristiwa
Saya percaya, ibu yang saya kagumi itu tentu tak kurang kaya dibandingkan dua ibu sebelumnya. Diapun isteri pejabat negara. Namun pilihannya untuk tampil sederhana, adalah sebuah pilihan yang tentu lahir dari kualitas diri. Baik secara keilmuan, agama dan hakikat hidupnya. Sebab, sejatinya diapun bisa berpenampilan mentereng.
Tapi, sepertinya dia memilih memperlihatkan bahwa eksistensi dan kualitas diri seseorang tak diukur dari perhiasan dan benda-benda bermerek. Apalagi dia isteri seorang pejabat dan aparat negara yang seharusnya dituntut untuk tampil sederhana untuk memberi contoh kepada masyarakat. Sungguh luar biasa kualitas diri seseorang.
Aku merenung. Bagaimana denganku? Mungkin saja, aku pun seperti 2 wanita itu, seandainya aku punya uang untuk membeli benda-benda dan perhiasan itu dan bila aku isteri seorang pejabat negara. Aaah, jiwaku yang miskin ilmu.
Tello, Makassar, 23 September 2020