HARI INI, 13 tahun lalu bayi laki-laki lahir dari rahimku. Tepatnya 26 Juli 2007. Setelah 12 jam menahan sakit. Kata orang tua, begitulah anak pertama yang menjadi pembuka jalan lahir. Sakitnya alang kepalang.
Kelahirannya tanpa ditunggu sang ayah. Sebab tugas belajar di seberang benua, Amerika.
Proses kelahirannya cukup unik. Masuk di RS bersalin cukup ternama di Makassar, dimana dokter kontrol kehamilan rutin saya berpraktek di situ. Namun, hari itu dokternya berhalangan dan diganti seorang temannya.
Kami masuk di kelas VVIP, yang terpaksa dipilih, karena RS beralasan kamar full boked. Tak ada pilihan bagi saya sebagai ibu baru yang penuh dengan kekhawatiran. Apalagi ditambah dengan diagnosa dokter bahwa sudah waktunya melahirkan.
Namun, sejak siang hingga besok pagi, tak ada tanda-tanda melahirkan. Entah untuk apa infus yang dipasang di lenganku sejak masuk RS. Perut saya kalem-kalem saja tak ada sakit sama sekali. Sampai hari kedua di rumah sakit, sorenya dokter berkesimpulan, saya harus dicaesar, Seksio Sesarea.
Saya terkejut. Sebab ini bukan jalan melahirkan yang saya inginkan. Tak terpikir soal biaya sebab kami menggunakan asuransi. Dan mempersiapkan dana berjaga-jaga. Tapi hati saya menolak. Saya yakin saya bisa melahirkan normal.
Meskipun dokter mengatakan hal berbahaya bila terlambat lahir, soal ketuban yang berwarna hijau dan kehabisan air ketuban, saya putuskan keluar dari RS sore itu juga.
Keputusan saya membuat panik mertua dan kakak saya yang menunggui proses melahirkan saya. Tapi tekad bulat, tak terbantahkan. Saya akan melahirkan dirumah saja, kata saya. Hahaha, semua semakin panik.
Namun hanya semalam saja di rumah saya akhirnya mau ke rumah sakit Ibu Anak terdekat pada 25 Juli 2007 siang. Rumah sakitnya sederhana, kecil dan asri. Usia berdirinya baru 2 atau 3 tahun. Hasil kasak kusuk dua sahabat saya yang mencarinya. Letaknya strategis di depan jalan protokol Kota Makassar.
Bapak Dokter yang juga pemilik rumah sakit itu, sangat tenang dan menenangkan. Kata dia, “Oh tak apa-apa, adik bayinya baik-baik saja. Memang mungkin belum waktunya,” kata Dokter. Saya dapat informasi dokter ini selalu melaksanakan shalat sunnat dua rakaat ketika menangani pasiennya melahirkan. Meskipun dalam proses melahirkan ditangani bidan perempuan.
Tepat jam 02.15 Wita, dini hari, 26 Juli 2007 anak yang kami beri nama Muhammad Thariq Aqila lahir. Anteng, tak ada suara tangisan. Berkali-kali ditepuk-tepuk punggungnya bayi mungil berkulit putih seperti saya ini, tak jua menangis. Meskipun dinginnya udara tak pengaruh padanya. Namun dia bernafas dengan normal.
Perjalanan waktu hingga usianya kini, 13 tahun, Thariq tak seanteng seperti ketika dia lahir. Sangat kritis sejak kecil, sangat cerewet dan pandai berkata-kata. Kini apalagi. Thariq matang dalam pemikiran, dalam sikap, meskipun masih terselip manja yang luar biasa. Mungkin sebab dia anak tunggal.
Tak pernah ada pesta perayaan ulang tahun, tak ada tiup lilin. Sebab, itu tak menarik baginya. Dulu saja, pernah tiup lilin ketika nyala api masih membuatnya penasaran. Ketika TK dan SD kelas satu. Hehehe..
Tak ingin membebaninya dengan harapan-harapan. Bagi saya cukup bila Thariq menjadi anak yang soleh, melaksanakan perintah Allah Swt, menjalankan agamanya, mencintai sang Penghulu, Rasulullah Muhammad SAW.
Doa lain, semoga kehadirannya membawa kemaslahatan untuk lingkungan. Level tertinggi dari doa untuk Thariq, adalah menjadi rahmatan lil alamin. Bukankah itu puncak tertinggi dari eksistensi hambaNya? Sebagaimana Rasulullah Muhammad SAW diutus untuk mengajarkan akhlak dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Apakah manusia biasa seperti anakku Thariq bisa kudoakan seperti itu?
Yang pasti, dari setiap anak yang berulang tahun, selalu ada ibu yang mengenang betapa bahagianya atas kehadiran buah hati, belahan jiwa. Ini kisah ibu ketika anaknya berulang tahun, setiap tahun. ***
Tello, 26 Juli 2020