DIA-lah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung. (Quran Surah Ar-Ra’d: 12).
Lalu, sekonyong-konyong Corona Virus Disease-19 menerjang. Manusia, satu per satu berguguran memenuhi takdirnya, kembali ke haribaan sang Khalik akibat terinfeksi. Prosesnya cepat, kematian seolah-olah tak terbendung.
Banyak yang panik, meski tak sedikit pula yang cuek. Aku salah satunya, Panik. Bukan sebab Covid-19nya. Namun, tiba-tiba semua rutinitas berubah drastis.
Tadinya, punya waktu luang 2-3 jam untuk berileksasi setelah bus sekolah mengangkut anakku ke sekolah 6.30am. Lalu, mengumpulkan, mengerjakan, mengecek satu per satu pekerjaan kantor yang dilakukan secara online. Telpon kiri kanan, melakukan deal. Dua sampai 3 jam, dilakukan sambil mengerjakan hal-hal kecil urusan rumah.
Dan ketika matahari dipuncak langit, berhenti berurusan kantor, beribadah, lalu berbaring hingga kadang sore menjelang. Memang tak setiap hari seperti itu. Namun selalu ada waktu dimana aku bisa mengistirahatkan jiwa, pikiran dan badan disetiap harinya.
Ternyata Covid19 semakin keras menerjang. Physical dan sosial Distancing tak terelakkan. Work From Home, School From Home, menjadi pagi yang sungguh tak lagi tenang. Kerja tak lagi terorganisir dengan benar.
Sebab remaja yang harusnya berada di sekolah, kini menjadi kawan bertengkar setiap diajak mengerjakan tugas sekolah. Aah, Bu Guru, Pak Guru, muridmu lebih senang diajar olehmu daripada ibunya.
Belum lagi, tingkah remaja yang tiba-tiba seperti mendapat libur panjang. Tak ada lagi mandi pagi, tak ada lagi kamar dan rumah yang rapi. Semuanya berhamburan. Ketika ruang yang satu dibenahi, lalu ruang yang lain menjadi kotor, begitu seterusnya.
Lalu pola tidur tak lagi sama. Terbangun tengah malam diwaktu yang belum seharusnya untuk beribadah. Disebab oleh suara-suara gadget dari bocah remaja yang tiba-tiba menjadi senang bergadang dengan handphonenya.
3 minggu lamanya terjadi.
Pada sebuah pagi yang masih berselimut embun. Tak mampu lagi kubendung lelah psikis, fisik dan jiwa. Sekonyong-konyong kepala menjadi berat, lalu langkah seperti tak berpijak tanah, melayang. Sampai dipuncak kesadaran, terbaring lemas, badan dingin, dan sesak nafas.
Seketika kudekati dan kupeluk bocah remaja 13 tahunku yang masih terlelap. kubangunkan, lalu… “Bangun Nak, mama seperti mau sakaratul maut..” ucapku dengan terbata-bata dengan badan berkeringat dingin.
Bocah remajaku terbangun, duduk dan mendekapku erat..Lalu, “Tenang Mama, saya di sampingnya Mama saat sakaratul maut,” dekapnya erat. Sesekali diusapnya kepalaku, seperti sering kulakukan kepadanya bila hendak tidur dan membujuknya. Aku tertegun. Menitik airmata satu per satu. Lama kurenungkan kata-katanya.
Sambil menahan kantuk dan sekali-kali mata tertutup, bocah lakilaki itu mempererat dekapannya. Sampai aku tersadar, segera berbaring sambil mendekap anakku. Pelan-pelan, kaki menghangat, perut kembali hangat, meski kepala tetap terasa berat. Merapalkan doa-doa. Memohon Tuhan memberi kesadaran, memberikanku umur yang panjang, sambil mengingatkan bahwa aku punya bocah remaja yang masih membutuhkanku.
Seorang kawan Dokter mengabarkanku untuk segera meminum air panas yang manis, meminum obat. Kata dia, aku psikosomatis. Kuikuti saja. Aku butuh sehatku.
Pertolongan Tuhan datang pada saat dibutuhkan. Ayah anakku akhirnya tiba di rumah setelah berbulan-bulan berpisah jarak sebab pekerjaan. Aku tertolongkan.
Meskipun, secara sadar dan pengetahuan, aku mengerti bagaimana menghadapi stres, menghadapi covid19, menghadapi bocah remaja. Namun, jiwa pun ada batas kemampuannya untuk bertahan.
“Tuhan, berikan kami pelangi-Mu yang indah, setelah badai Covid19, awan mendung duka cita dan hujan air mata ini, berlalu…”
(Tello, 15 April 2020)