Seperti yang Anda tonton atau pernah menyaksikannya langsung, masyarakat Cina merupakan pengguna sepeda yang setia. Meski sepeda motor sudah mulai menggantikan posisinya.
Di Indonesia, di pedesaan, utamanya di Jawa, sepeda masih menjadi moda transportasi yang umum dipakai. Sampai dengan 1990-an, saya masih menyaksikan ramainya orang bersepeda ontel di Daerah Istimewa Yogyakarta. Para pelajar, pegawai, petani, para penjual sayur keliling bahkan para ibu memakai kendaraan yang biasa pula kita sebut sepeda pancal ini untuk berkegiatan sehari-hari.
Di pedesaan di daerah lain, di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi di mana transmigran asal Jawa bermukim, sepeda ontel dengan mudah kita temui.
Pada Juni 2006, ketika meliput banjir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, saya sempat mampir di kediaman Reny Ayu, wartawati senior Kompas. Saya melihat sepeda ontel dipajang di ruang tamunya. Suaminya ketika itu suka mengoleksi barang-barang tua yang tergolong antik. Mulai dari lemari makan kayu sampai meja dan kursi tua. Sejak saat itu sepeda tua itu mengusik pikiran saya.
Pada potongan ini pula saya lalu mengingat salah satu lagu Iwan Fals yang berkisah tentang Omar Bakri. Seorang Guru yang memakai sepeda ontel ke sekolah. Saya membayangkan yang dikendarainya adalah sepeda ontel bermerek Phoenix yang memang populer di Indonesia.
Bahkan dulu tukang pos memakainya saat berkeliling mengantar surat. Tentu dengan kantong surat digantung bersebelahan di boncengannya.
Di masa kecil saya di Dolago, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, pada sekira 1983, saya belajar mengendarainya. Saya memakai sepeda kumbang. Ini peruntukkannya buat perempuan karena batangan rangkanya melengkung, tidak seperti ontel yang lurus.
Pada sekira Maret 2017 lalu, saya kemudian teringat lagi dengan sepeda ini. Saya lalu meminta keponakan saya mencarinya di Sausu, Parigi Moutong. Di sana sepeda ontel mudah ditemukan. Maklum, sebagian besar pemukimnya adalah transmigran asal Jawa. Saya meminta dia membeli dari salah seorang petani di daerah lumbung padi itu dengan harga layak. Singkat kata, sepeda ontel itu pun diboyong ke Palu.
Di awal Februari, saya kembali mematut-matut sepeda ontel itu. Saya mau ia kembali kinclong. Sabtu (9/2/2019) usai Magrib saya menengoknya. Saya memeriksa badge mereknya. Ternyata Phoenix. Sayang, tak ada tanggal pembuatannya. Loncengnya masih ada tapi agak macet. Dinamo lampunya bermerek Elephant, Made in China. Lampunya juga masih bagus.
Saya kemudian langsung terpikir membuat tulisan tentang sepeda ontel ini. Berseluncurlah saya di Google.com. Sejumlah referensi muncul.
Di China pada era 1960-an – 1990-an, industri sepeda berkembang pesat. Beragam merek sepeda diproduksi di Negeri Tirai Bambu itu.
Ada industri sepeda merek Battle di Provinsi Tianjin, BSA di Provinsi Henan, Chun Hua di kawasan Kunming, Provinsi Yunnan. Lalu ada sepeda Fei Ying yang diproduksi Anyang Bicycle Factory juga di Provinsi Henan, ada Flying Pigeon (Feige) di Tianjin. Juga ada pabrik sepeda Phoenix (Feng Hong, Feng Huang) di Shanghai. Ada Red Flag (Hong Qi) juga di Tianjin. Berikutnya ada pabrik sepeda di Golden Lion (Jin Shi) di Provinsi Jiangsu dan lain-lainnya.
Dari beberapa merek itu, Phoenix lah yang paling kita kenal. Meski ada kabar pula, pada sekira 1904 Albert dan Rient Schootstra, putra seorang pemilik toko perhiasan dan pembuat jam tangan di Kota Joure, Belanda membuat pabrik sepeda bermerek Phoenix Rijwielfabriek. Bisa jadi dari sinilah cikal bakal sepeda Phoenix yang berkembang di China kemudian sampai ke Indonesia. Phoenix memang sudah terbang tinggi. Jauh sekali melintas Tirai Bambu, menyeberangi samudera. Ia sudah mengangkasa hingga ke langit Nusantara.
Sebelum tulisan ini saya akhiri, ada baiknya saya kisahkan mitologi Phoenix itu. Dikutip dari laman wikipedia.org, dalam Bahasa Belanda dilafalkan sebagai Feniks. Dalam Latin disebut Phoenix. Dalam mitologi Mesir Kuno, digambarkan sebagai Burung Api yang keramat. Bulunya indah berwarna merah keemasan.
Burung ini adalah simbol keabadian, lambang dari siklus kehidupan setelah mati, dan simbol dari kebangkitan tubuh setelah mati. Feniks disebutkan dapat hidup selama 500 atau 1461 tahun.
Bila sudah sampai ke usia itu, ia membakar dirinya sendiri lalu dari abunya lahir kembali seekor Phoenix muda. Burung ini juga adalah simbol suci pemujaan pada Dewa Matahari, Ra. ***