SELASA, 22 Januari 2019, saat banjir bandang dan luapan sungai merendam sejumlah wilayah di Sulawesi Selatan, termasuk juga Kota Makassar, saya menyempatkan diri menonton film fiksi sains San Andreas.
Film ini berkisah tentang gempabumi, tsunami dan (mungkin likuifaksi) yang disebabkan aktifnya Sesar San Andreas. Hampir seluruh bagian area Teluk San Francisco, California, Amerika Serikat luluh lantak dihantam bencana dahsyat itu.
Film yang dirilis pada 2015 ini dibintangi aktor dengan bisep besar, Dwayne “The Rock” Johnson, Carla Gugino, Paul Giamatti yang berperan sebagai seorang Seismolog kawakan dari California Institute of Technology dan sejumlah pemeran lainnya.
Tentu saja karena ini adalah film, maka The Rock yang bernama peran Raymond “Ray” Gaines tampil sebagai Hero yang menyelamatkan mantan istrinya, Emma (Carla Gugino), anaknya Blake (Alexandra Daddario bersama dua sahabat kakak beradik kenalan barunya. Ray adalah pilot helikopter penyelamat di Los Angeles Fire Departement.
Di scene lainnya, Paul Giamatti yang berperan sebagai Dr. Lawrence Hayes. Ia bersama Will Yun Lee yang memerankan Dr. Kim Park mengklaim berhasil memprediksi waktu yang tepat terjadinya gempabumi.
Sayangnya, saat tengah melakukan riset lapangan di Hoover Dam, Nevada gempabumi keburu datang. Guncangan kerasnya membuat bendungan setinggi 726 kaki itu jebol. Dr. Kim tewas saat berusaha menyelamatkan seorang anak. Guncangan gempa terasa hingga San Francisco, California dalam 9 Skala Richter. Gempa ini pun memicu Tsunami.
Film ini diilhami oleh Gempabumi yang terjadi akibat pergerakan Sesar San Andreas pada 18 April 1906 yang mengakibatkan 3 ribu orang tewas dan 28 ribu bangunan gedung luluh lantak.
Sesar ini memiliki panjang 1200 kilometer memisahkan Lempeng Pasifik dan Lempeng Amerika Utara. San Andreas membagi California menjadi dua bagian dari Cape Mendocino ke perbatasan Meksiko. San Diego, Los Angeles dan Big Sur berada di atas Lempeng Pasifik. Sedangkan San Francisco, Sacramento dan Sierra Nevada berada di Lempeng Amerika Utara.
Meski menuai kritikan karena dianggap berlebihan dalam menggambarkan dahsyatnya bencana akibat pergerakan Sesar San Andreas, film ini sungguh membuat kita harus berpikir bagaimana menyiapkan diri bilamana bencana itu datang. Itu agar korban jiwa bisa dikurangi.
Saya teringat kutipan Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Gutteres saat berkunjung ke Palu, pada 12 Oktober 2018 lalu. Ia bilang: “Bencana tak dapat hindari yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan langkah-langkah menghadapinya.”
Direktur Eksekutif Relawan untuk Orang dan Alam, Muhammad Subarkah pun berkata senada: “Tidak perlu takut dan tidak perlu kuatir. Yang harus dilakukan kemudian adalah menyiapkan diri menghadapi bencana dan bagaimana bertindak pasca-bencana terjadi.”
Menurut dia, Sulawesi Tengah dan Sulawesi secara umum dianugerahi Tuhan Yang Maha Kuasa banyak keistimewaan. Sumber daya mineralnya yang melimpah, bentang alamnya yang indah dan juga anugerah ‘harta’ tapak seismik yang luar biasa, seperti Sesar Palolo Graben dan Palu Koro. Jadi kita harus menerimanya mau atau tidak mau, suka atau tidak suka. Tinggal kita menyiapkan diri menghadapinya dan tahu cara bertindak setelah datangnya bencana.
Jumat, 28 September 2018, gempabumi dahsyat dalam 7,4 Skala Richter disusul tsunami dan likuifaksi menghantam Padagimo – Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong.
Sesar Palu Koro menggeliat hebat. Saat itu saya tengah berbaring di ruang tamu tanpa kursi di rumah saya. Jaraknya sekira 0,5 kilometer dari Petobo dan 7,9 kilometer dari Jonooge, Sigi yang disapu Likuifaksi atau pembuburan tanah.
Para ahli mencatat, Palu Koro adalah patahan terpanjang kedua di Indonesia setelah sesar Sumatera. Bila Sesar Sumatera sepanjang 1.900 kilometer, Palu Koro memiliki panjang 500 kilometer. Sesar aktif ini membelah Pulau Sulawesi, memanjang dari utara di Teluk Palu hingga Teluk Bone di Selatan.
Di Sulawesi terdapat banyak sesar aktif. Itu karena pulau berbentuk huruf K ini berada di kawasan pertemuan tiga lempeng besar, yakni Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Terdapat 48 sesar aktif berdasar Peta Sumber Gempa Nasional 2017.
Tak cuma kali ini Palu Koro menggeliat. Serangkaian gempabumi dan tsunami pernah terjadi karena sesar ini. Yang paling dahsyat tentu saja pada 28 September 2018 itu.
Berdasar Data Pusat Data dan Informasi Bencana Provinsi Sulawesi Tengah, korban di wilayah Padagimo tercatat mencapai 2.657 jiwa meninggal dunia, 667 hilang dan 1.016 di antaranya dikubur massal. Data yang dirilis pada 7 Januari 2019 ini mencatat pula sebanyak 172.635 jiwa menjadi pengungsi.
Saat ini, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah di bawah Gubernur Longki Djanggola terus berupaya memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan bagi warga terdampak itu. Bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Pemerintah pun berusaha menyediakan hunian sementara bagi mereka. Tidak kurang 21.090 hunian mesti disiapkan untuk menampung warga terdampak ini. Selain PUPR, sejumlah negara dan organisasi nonpemerintah berupaya membangunnya.
Dalam sebuah sesi wawancara dengan para jurnalis, Gubernur Longki menyebutkan paling tidak selama dua tahun, kebutuhan sandang, pangan dan papan warga terdampak masih harus menjadi perhatian Pemerintah. Termasuk pula kebutuhan listrik dan air minum.
Bukan seperti Ray yang cuma menyelamatkan Emma, Blake dan dua sahabat barunya, Gubernur Longki beserta jajaran satuan kerja perangkat daerah-nya harus memikirkan nasib ribuan warganya.
Longki seperti juga Ray harus tampil sebagai pilot penyelamat. Ia mesti memimpin perangkat kerjanya memulihkan, merekonstruksi dan merehabilitasi struktur struktur dan infrastruktur sosial dan ekonomi daerah ini. Dan itu tengah dan terus dilakukannya.
Tentu saja kesiapan dan kemampuan Pemerintah Nasional dan Pemerintah Provinsi kita tak bisalah disetarakan dengan Pemerintah Kota San Francisco. Bila San Francisco hanya butuh empat tahun kembali disulap menjadi kota yang megah, kita bisa jadi butuh waktu lebih lama dari itu.
Tapak gempa di Padagimo, tsunami di Teluk Palu dan Donggala, dan tapak likuifaksi Balaroa, Petobo juga Jonooge membutuhkan waktu lama untuk kembali direhabilitasi dan direkonstruksi.
Tapi kita tak boleh patah arang. Seperti yang kita lihat Pemerintah kita terus bergerak. Di tengah protes warga atas huntara, Pemerintah terus berupaya menyiapkan pemukiman berupa bilik berukuran 3 x 4,5 meter per kepala keluarga. Jumlah yang ditarget Pemerintah tidak kurang 1.200 unit atau setara dengan 15.000 bilik. Per unit terdiri dari 4 – 7 bilik.
Sebagai pilot, meski tak kekar dengan otot bisep yang menonjol, Gubernur Longki dan jajarannya tengah bekerja keras memenuhi hak para warga terdampak bencana. Kita mesti menyemangati mereka.
Oh iya, saya hampir lupa menyeruput secangkir kopi yang saya pesan di Teracce Coffee, warung kopi di samping kiri Graha Pena Makassar, Sulawesi Selatan. Kopinya ternyata sudah keburu dingin. Namun tak apalah, meski dingin saya tetap menikmatinya. Semoga Anda semua bisa membaca tulisan ini dengan secangkir kopi yang masih hangat. ***