Batas Langit
No Result
View All Result
  • Ragam
  • Refleksi
  • Ruang Keluarga
  • Ihwal
No Result
View All Result
  • Ragam
  • Refleksi
  • Ruang Keluarga
  • Ihwal
Batas Langit
No Result
View All Result

Perempuan Berkerudung, Dange dan Murka Tsunami di Teluk Palu

Jafar Bua by Jafar Bua
May 3, 2019
0
Readers: 626

Menikmati kuliner dengan cara yang luar biasa di Teluk Palu. Menyesap dinginnya angin laut. Lalu perempuan dari Kolakola menawarkan dange  berlapis ikan teri, tuna dan gula aren untuk menikmati senja pulang.

Itu dulu. Sebelum tsunami dahsyat menyapa pantai ini dengan murka.

Masih terbayang wajah perempuan-perempuan berkerudung itu duduk berjejer rapi memakai dingklik di hadapan tungku yang sudah membara. Di atas tungku sudah siap kuali-kuali kecil dari tanah. Seperti perapian, tiada lagi dingin sapuan angin laut terasa. 

Rona lembayung senja memberi warna alamiah pada wajahnya. Di belakang mereka debur ombak Teluk Palu meningkahi matahari yang beranjak pulang. Sungguh paduan harmoni alam yang serasi.

Perempuan-perempuan itu adalah para penjual Dange Khas Kolakola. Dange adalah Sagu yang dicampur dengan kelapa parut lalu dipanggang di atas kuali gerabah tadi. Bila ada pemesan barulah mereka menaruh campuran sagu itu di atas kuali gerabah tadi. Lalu kemudian dipanggang di atas tungku dengan bara kayu bakar. Harganya cuma Rp5.000 per lempeng dange. 

Dari sinilah kisah ini bermula. Berangkat dari Kolakola, Banawa, Kabupaten Donggala lalu merajut cerita di Teluk Palu.

“Saya dan kawan-kawan dari Kolakola biasa mulai buka jam empat atau jam lima sore. Kembali ke Kolakola bisa sampai jam duabelas malam. Tergantung pembeli dan bahan dange,” tutur Minah, pada saya di senja itu. Ia adalah salah seoRang perempuan penjual Dange yang mengaku usianya sekira 37 tahun.

Dange yang dijajakannya berlapis ikan teri, tuna dan gula aren. Tapi menurut dia, orang lebih memilih dange ikan teri dan tuna tinimbang gula merah. 

Saya mencatat kisah Minah itu dengan baik. Kata dia, saban hari mereka berangkat dari Kolakola sekira pukul 14.00 Waktu Indonesia Tengah. Tak kurang 1 –  2 jam lamanya dengan menumpang angkutan pedesaan mereka baru sampai di pedestrian Taman Ria, Teluk Palu. Mereka membayar sewa angkutan sekira Rp40 ribu.

“Kalau menghitung pendapatan, bisalah ini untuk makan. Biasanya kalau ramai kami dapat tigaratus ribu rupiah. Keluar untuk biaya angkutan dan bahan limabelas ribu itulah keuntungan kami,” kata Munirah, penjaja Dange lainnya.

Muliana, yang juga berasal dari Kolakola bilang saat itu, “daripada kami cuma duduk diam di rumah lebih baik kami mencari uang dengan menjual dange.”

Bisa jadi ada seorang dua perempuan-perempuan penjual dange itu yang selamat dari amuk tsunami. Atau bisa jadi pula semua dari mereka selamat. Sayangnya, saya belum sempat lagi menyambangi mereka. Bisa jadi juga, di lapaknya yang baru di Jalan I Gusti Ngurah Rai, Tatanga, Palu ada seorang dua di antara mereka yang saya temui di senja itu.

Bila sempat , saya akan kembali bercerita pada Anda semua tentang mereka. Meski debur ombak sudah berganti dengan raung mesin sepeda motor dan mobil yang melintas di depan lapak mereka kini.***

Share299Tweet187Share75
Jafar Bua

Jafar Bua

Next Post
Kisah San Andreas, Palu Koro, Dwayne Johnson, Longki Djanggola dan Secangkir Kopi Dingin

Kisah San Andreas, Palu Koro, Dwayne Johnson, Longki Djanggola dan Secangkir Kopi Dingin

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Facebook Twitter Youtube Vimeo Instagram

Navigate

  • Home
  • About
  • Archives
  • Contact

Category

  • Cerpen
  • KONTEMPLASI
  • News Flash
  • Ragam
  • Refleksi
  • Ruang Keluarga
  • Uncategorized

BatasLangit © 2020

No Result
View All Result
  • Home
  • About
  • Contact

BatasLangit © 2020