Catatan: Ini adalah tulisan lama yang rasanya masih relevan untuk dibaca kembali.
MATI itu urusan Tuhan, namun memilih tetap hidup adalah keniscayaan. Seperti itu, pemahaman saya ketika memutuskan untuk kembali mengikuti penerbangan kedua GA 608, Minggu 26 Januari 2014.
Sebelumnya, di sore hari yang sama, jam 14.00-15.30 wita, dengan pesawat tersebut, saya baru mengalami perjalanan bathin yang hebat. Setelah diguncang awan, hujan dan angin kencang di atas langit Palu, pesawat harus kembali ke Makassar karena tak bisa mendarat di Bandara Mutiara SIS Aldjufrie
etelah menunggu sekira 2 jam di Bandara Hasanuddin, Garuda memutuskan untuk melanjutkan penerbangannya untuk kedua kalinya ke Palu. Dan saya salah satu dari puluhan penumpang yang memilih ikut.
Perjalanan itu menjadi perenungan saya. Bahwa Tuhan masih memberi kesempatan kedua untuk hidup di dunia.
***
Minggu 26 Januari 2014, menjadi hari yang saya pilih untuk kembali ke Palu setelah Rapat Umum Pemegang Saham (Rups) di kantor PT Media Fajar Holding di Makassar. Dengan Garuda Indonesia Airways nomor penerbangan GA 608, saya memutuskan terbang pada pukul 13.55 Wita.
Sebenarnya terbetik rasa khawatir ketika saya berkemas-kemas. Karena cuaca hari itu kurang bersahabat untuk penerbangan. Sejak pagi hujan sudah turun, langit ditutupi awan kelabu yang tebal. Cumulusnimbus namanya dikenal. Awan tebal yang penuh bulir-bulir air. Siap jadi hujan. Namun, saya memilih untuk tetapkan hati berangkat hari itu.
Agak terlambat setengah jam dari jadwal ketika kami mulai boarding di pesawat milik BUMN ini. Ketika menapaki garbarata menuju perut pesawat, matahari yang semula mengintip dari sela-sela awan, kini menghilang. Diganti tetes hujan yang mendera kaca jendela pesawat.
Seperti biasanya, seperempat jam mengatur penumpang, pesawat Boeing 737-400 itu pun bersiap tinggal landas. Sangat biasa, ketika tinggal landas, selalu ada guncangan sebelum kembali stabil dan melaju di atas awan.
Saya tak sempat mengingat di menit keberapa ketika pesawat mulai sering bergetar di guncang awan dan angin. Namun penerbangan selama 53 menit itu terasa hampir setiap saat berderak hebat ketika angin dan hujan menyambar.
Sudah setengah jam terbang melintasi udara sebelah utara, Pilot Garuda Kapten Adiperkasa Sukma melaporkan suasana dan kondisi cuaca, serta kecepatan angin saat itu. Dia mengatakan kondisi Palu sangat berawan dengan suhu sekira 28 derajat Celcius.
Sejak Adiperkasa bicara tentang cuaca, yang ditingkahi guncangan-guncangan burung besi itu, suasana dalam pesawat mulai tegang. Video lucu pada program “Just for Laughs” yang selalu diputar Garuda pada penerbangan, mulai terasa tidak lucu. Saya kehilangan sense of Humour. Mati hasrat untuk tertawa.
Sampai pada akhirnya guncangan semakin keras. Kami mengalami turbulensi yang sangat kencang hingga 2 kali. Pesawat seperti dihempas turun. Di tengah turbulensi itu, suara teriakan kecil, takbir dan serta doa mulai bertebaran. Ditingkahi suara tangis anak kecil antara mengantuk, minta diayun, juga suara isak seorang ibu di kursi belakang saya. Suasana mencekam.
Persiapan untuk mendarat sudah disampaikan, namun kapten pilot mengatakan, mereka sedang menunggu sampai cuaca di Palu memungkinkan untuk mendarat. Setengah jam di atas
Bandara Mutiara, berputar-putar mencari peluang. Terguncang-guncang oleh cuaca tak menentu, sampai akhirnya pilot memutuskan untuk kembali ke Makassar.
Sebagai jurnalis yang seringkali bepergian karena penugasan, baru kali ini rasanya mengalami guncangan hebat seperti malam itu. Maret, awal tahun 2013, saya pernah melayang-layang bersama Pesawat Cathay Pasific selama 1 jam di atas langit Hongkong dari Shanghai karena cuaca yang buruk. Pesawat itupun menunggu hujan reda untuk mendarat. Walhasil, saya dan rombongan Indonesia ketinggalan pesawat menuju Jakarta malam itu. Namun, hampir tak ada guncangan yang berarti yang kami rasakan. Mungkin karena jenis pesawat bertubuh jumbo itu yang membuat penumpang tak merasakan.
Sembilan tahun lalu, saya pernah mengalami turbulensi di pesawat United Airlines yang membawa saya dari Narita, Jepang menuju Bandara O’Hare, Chicago, Amerika Serikat. Pesawat rasanya terhempas beberapa meter. Namun, sepertinya hanya saya yang berteriak saat itu. Saya pernah mendengar bahwa ada beberapa tempat di udara luar yang seperti hampa udara, seringkali membuat pesawat mengalami guncangan. Seperti di Segitiga Bermuda. Namun, Alhamdulillah masih aman.
Namun kali ini, saya merasa maut di depan mata. Satu kaki berada di alam yang lain, satu kakinya tengah gemetaran menahan ketakutan yang dahsyat akibat bayang kematian. Silih berganti wajah anak, suami dan bayang-bayang tubuh saya yang hancur berkeping-keping memenuhi benak.
Saya merasa, Tuhan tengah mengingatkan tentang kematian yang seringkali saya lupa. Saya membayangkan musibah akibat pesawat jatuh, akibat bencana longsor, banjir bandang. Mungkinkah itu cara Tuhan mengingatkan hambaNya untuk tidak lalai dari sujud dan syukur kepadaNya?
Saya tak sempat memikirkan, karena otak, hati dan bibir saya dipenuhi dzikir dan mengingatNya saja. Betapa mudahnya Tuhan mencabut nyawa bila dia menghendaki hari itu. Tetapi juga betapa besar kasih sayangNya yang sering dilupakan.
Fenyta Marsha, pramugari yang bertugas saat itu mengaku baru kali ini mengalami kejadian tersebut. Cuaca di Palu kata dia, memang sering berawan. Tetapi sore itu, untuk pertama kalinya Fenyta merasakan dahsyatnya. “Sudah tiga kali mengalami kejadian cuaca begini di Palu. Tapi, tadi itu yang terberat, karena kita sampai kembali (ke Makassar),” tuturnya di tubuh pesawat saat persiapan terbang ke Palu lagi.
Perjalanan kembali ke Makassar, tidak mudah ditempuh. Guncangan sepanjang 53 menit perjalanan, sekali-sekali terasa. Hingga akhirnya tiba di Bandara Hasanuddin.
Setelah menunggu 1 jam lamanya,
Garuda memutuskan untuk menerbangkan kami kembali ke Palu. Saya sempat berpikir untuk menjadwal ulang keberangkatan, entah besoknya atau lusa. Apalagi setelah petugas admin Garuda menyampaikan ada 20-an penumpang yang memutuskan tidak terbang lagi setelah kejadian pesawat kembali ke Makassar.
Namun bukan hanya saya, puluhan penumpang lain dengan nyali kuat ikut memilih terbang ke Palu malam itu. Di antaranya Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng Dr Hasanuddin Atjo, Anggota KPU Sulteng Naharuddin. Juga Kapolresta Palu, AKBP Trisno Rachmadi dan istri, yang baru saya tahu setelah mendarat di Palu.
Jujur, saya mengakui dan salut dengan kru Garuda malam itu. Selain Kapten Adiperkasa yang tetap tenang dalam suasana mencekam, 4 orang pramugari dan 1 orang pramugara tak pernah terlihat panik. Mereka bekerja seolah-olah tak terjadi apa-apa. Raut wajah yang tetap berseri. Aggnes, salah satu pramugari yang dari posturnya saya yakin berdarah Papua itu, bekerja gesit namun tetap anggun di tengah ketegangan. Ada Veronica yang tetap tersenyum, meskipun saya yakin hatinya pun berdegup kencang.
Akhirnya, kami berhasil mendarat dengan mulus di Palu, pukul 21.30 wita. Saya bersujud syukur dan tak pernah putus merenung. Saya berkesimpulan bahwa mengingat Allah swt, baik duduk, berdiri maupun tidur adalah kepastian. Sebelum Tuhan memilih untuk mengingatkan kita dengan caraNya sendiri melalui guncangan-guncangan musibah.