“TERIMA kasih, Bawang Gorengnya enak sekali. Anak kami suka menaburkan di atas nasi saat makan..” ungkap Professor Lilis Nuraida, IPB Bogor.
Kalimat ini yang kesekian kali saya dengar tentang oleh oleh bawang goreng dari Palu. Bukan hanya dari Prof Lilis Nuraida, sejumlah kawan di Makassar, kolega di Jakarta, mereka yang pernah mencicipi Bawang Goreng dari Palu pasti komentarnya bikin senang hati. “Wah, banggornya bikin kalap, Far..” ujar kawan suami saya dari salah satu stasiun teve berlabel internasional sehari setelah menerima titipan buah tangan itu dari kami.
Awal mulanya, 4- 5 tahun lalu, saya ketawa dalam hati ketika mendapat komentar seperti ini. “Ah, basa basi. Apalah, bawang goreng itu..” kata hati kecil saya. Apatah lagi pernah sahabat heran, ketika seorang kolega di luar kota minta dioleh-olehi bawang goreng.. “Haah.. bawang goreng..oleh oleh kok bawang goreng?” Soalnya dia memang belum pernah merasakan olahan salah satu rempah yang ada di seluruh dapur ibu-ibu di seantero jagad itu.
Kenyataannya, semakin hari semakin ke sini, saya salah besar menilai bawang goreng dari Bumi Tadulako ini. Bawang goreng menjadi buah tangan yang menjadi buah bibir dimana-mana. Ini menjadi oleh oleh wajib, ketika saya ke kota mana saja di Indonesia. Bahkan jadi bekal ketika bertandang ke luar negeri.
Yang unik lagi, kawan yang di Jawa lebih suka rempah bernama latin Allium cepa dari kota kita. Padahal di Jawa juga ada home industri bawang goreng dari salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang juga terkenal dengan Telor Asinnya itu. “Beda rasanya, Bu.. bawang goreng kiriman Ibu (dari Palu) lebih renyah, garing dan ada manis-manisnya,” kata kawan dari Jawa ini. Saya sahuti dengan tertawa. “Hahaha ada-ada saja, ini karena dapat oleh oleh gratis kan?” Canda saya.
Tak saya nyana, saya pernah kehabisan oleh oleh khas ini pascalebaran 2017, ketika akan ke Makassar. Kalangkabut pasti, karena sudah terlanjur janji. “Maaf bu, stok habis. Karena banyak yang borong waktu mudik,” ujar Ibu Suwarno, pemilik Produk Bawang Goreng Mutiara by Mbok Sri pada saya saat itu. Pucat pasi lah saya.. “Kok bisa, pasar lagi bagus-bagusnya stok habis?” Saat itu protes saya hanya disahuti senyum. Saya pulang dengan ganjalan dihati. Tak terima senang.
“Ini memang masalah kami di sini. Stok bahan bakunya seringkali kurang. Bahkan pernah tidak ada”. Demikian Pak Suwarno pemilik Oleh oleh Bawang Goreng Mbok Sri kepada saya Rabu, 1 November 2017. Saya bertandang lagi ke tokonya untuk beli buah tangan sekaligus beberapa yang dikonsumsi di rumah.
Pertanyaan saya, kok bisa Pak? Apakah tidak disiapkan bahan bakunya? Kemana petani Bawang? Apakah pemerintah tahu masalah kekurangan stok ini? Apakah pemerintah tahu bahwa bawang ini merupakan potensi pasar lokal yang tidak dimiliki oleh daerah lain?
“Ini masalahnya di hulu, bawangnya yang tidak setiap saat tersedia. Petani sering beralasan tak punya dana pada saat harus menanam. Kami, pelaku usaha nda bisa bikin apa-apa,” ujar Suwarno pasrah. “Kami juga cemas Bu. Untuk apa toko besar dan tenaga kerja banyak, tetapi bahan baku untuk diolah tak ada. Kami juga bingung ini,” tandasnya.
Kata dia, sepertinya persoalan bukan pada ketersediaan bibit. Karena pemerintah punya program yang selalu menyediakan bibit untuk petani. Masalahnya kemungkinan besar pada tata kelola, manajemen bagaimana agar proses tanam berlanjut. Ketika waktunya untuk menanam, lalu petani tak ada biaya. “Di sini masalahnya,” tandas Suwarno.
Pertanyaan saya, “Bukankah seharusnya ada penyuluh pertanian, lalu ke pimpinannya lalu ke Dinas Pertanian yang harusnya mengatur tata kelola penanaman bawang ini?” Suwarno hanya menjawab dengan senyum miris. Entahlah.
“Kami pelaku usaha Bu, sebenarnya bersyukur sekali karena sudah ada bantuan bibit kepada petani. Ini seharusnya mengurangi salah satu biaya produksi kami. Tetapi malah persoalannya bahan bakunya tidak ada,” ungkapnya.
Padahal untuk bisa menutupi kebutuhan pasar, PT Mutiara Mbok Sri ini memproduksi 7 ton bawang goreng setiap bulannya. Dia juga harus membayar 50 tenaga kerja saat berproduksi. Hufh..
Karena keterbatasan bahan baku itu pula yang membuat Suwarno tak berani melakukan ekspansi pasar ke kota lain. Dia baru saja dikunjungi pengusaha asal Singapura yang tertarik untuk berbisnis bawang goreng dengannya. Suwarno diminta menjadi pemasok bawang goreng ke perusahaan pengalengan daging di Negeri Merlion itu.
“Tapi, saya tak berani menerima tawaran mereka. Karena khawatir tak bisa memenuhi komitmen pasokan bawang goreng yang berkelanjutan sesuai permintaan mereka,” keluh Suwarno.
Saya terdiam. Potensi lokal, dengan bahan baku lokal dan tanah pemberian Tuhan yang khas dan menghasilkan Bawang Batu yang tidak dimiliki daerah lain, harus tersendat-sendat karena persoalan tata kelola yang seharusnya menjadi bagian dari tugas dan pekerjaan pemerintah.
Saya berenung, kadang-kadang kita terlalu jauh melangkah mencari sesuatu yang tidak kita miliki, lalu abai terhadap apa yang sudah ada di genggaman. Seperti kisah bawang lokal ini. Kecil, sederhana, remeh temeh, tapi potensi besar yang terabaikan. Mencari yang lain yang besar? Ibarat pepatah, “Harapkan burung terbang tinggi, Punai ditangan dilepas..” Miris.
Saat ini, tinggal berhitung hari, Sulawesi Tengah akan menghadapi pergelaran akbar Tour de Central Celebes, 6 November 2017. Yaitu lomba balap sepeda level internasional yang start dari Kabupaten Tojo Unauna, melewati Poso, Parigi, Sigi dan finish di Kota Palu.
Pergelaran level dunia ini untuk pertama kali dengan sengaja dihelat oleh Pemerintah Provinsi Sulteng. Peristiwa level internasional juga pernah terjadi di Sulteng saat Gerhana Matahari Total pada 9 September 2015. Ini terjadi karena kehendak Semesta yang spektrum pariwisatanya untuk Sulteng menggema seantero jagad.
Niat baik Gubernur Sulteng H Longki Djanggola yang benar-benar nekad menggelar kegiatan di tengah kondisi ekonomi seperti ini, patut mendapat jempol. Selain bertema olah raga, TdCC juga berefek pada promosi pariwisata Sulteng secara menyeluruh. Coba tengok, berapa banyak hasil yang diperoleh masyarakat, pelaku usaha dan pemprov dari hasil Total Eclips waktu itu?
Semua unit usaha bergerak. Mulai dari usaha hotel sampai Usaha Mikro Kecil dan Menengah menikmati hasilnya. Sampai penjual es tong tong pun laku keras. Semua meninggalkan jejaknya. Baik ataupun buruk.
Jangan lupa, salah satu yang bisa mengingatkan tamu pada tuan rumah adalah oleh oleh yang dibawa pulang. Dan Bawang Goreng adalah salah satunya yang menasional. Nah, bisakah bawang goreng mengiringi dahsyatnya perhelatan ini? Bisakah Bawang Batu kita go internasional dengan bahan bakunya yang limited edition? Wallahu alam.