Pak Gubernur, Pilihlah Sahabat Sejati. “Seseorang berkata kepada Sayyidina Ali bin Abi Talib RA.. Ya Ali, kulihat sahabat-sahabatmu begitu setia sehingga mereka banyak sekali. Berapakah sahabatmu? Sayyidina Ali menjawab, nanti akan kuhitung setelah aku tertimpa musibah..”
Kutipan di atas, dikirim seorang pini sepuh dari kantor saya di Makassar, 7 hari pasca gempa, tsunami dan likuifaksi yang melanda Palu, Sigi dan Donggala. Saya membacanya berkali-kali dan mencoba memahami maknanya. Pesan bijak sahabat sekaligus menantu Rasulullah Muhammad SAW ini terasa mengena pada kondisi saya saat ini. Saya adalah sebagian kecil dari ribuan rakyat tiga kota ini yg terkena bencana, 28 September 2018 itu.
Baca juga : Transformasi Ida Haris Yasin Limpo
Ada banyak teman yang peduli. Pesan mereka masuk seperti air mengalir di Whatshapp, menelpon. Menanyakan kabar dan mensyukuri saya dan keluarga baik-baik saja. Meski lelah psikis dan fisik, saya coba menjawab satu per satu.
Sejujurnya, hati saya sedang ingin diam, merenung, membutuhkan tenang. Syok, trauma, sedih, duka. Ada semua rasa kepedihan bermunculan. Saya ingin dipeluk, disentuh secara fisik, ditenangkan dengan tepukan di pundak. “Kau tak sendirian, kawan. Kami ada bersamamu”.
Seperti Tuhan yang datang menyentuh hati, “Laa Tahzan, innallaha ma anna. Jangan bersedih, sesungguhnya Allah Swt bersama aku”. Seperti di buku best seller karya Aidh Al Qarni itu. Pada situasi seperti ini hati rasanya hanya ingin berdua-duaan dengan Tuhan. Mengadu, memohon ampunan. Ini soal hati.
Namun tubuh fisik, saya membutuhkan teman seiring. Apalagi satu per satu tetangga meninggalkan kami, mengungsi. Terasa kesunyian dan hampa mengisi 5 hari pertama gempa.
Baca juga : Bahkan Iblis Pun Menyerah
Sebenarnya sayapun bisa pulang ke kampung ibu saya di Utara Sulawesi dan rumah saya di Selatan Sulawesi. Tapi tak saya lakukan. Hati saya menolak. Penting bagi saya bertahan, mencari tahu dimana semua kawan sekantor saya yang saat musibah, mereka tengah bekerja di kantor.
Lalu, seorang teman mengirimkan potongan video Gubernur Sulteng H Longki Djanggola yang kesal kepada warga yang memilih keluar kota Palu. Longki bilang, mereka yang sudah keluar kota Palu, tak usah kembali lagi. Kawan itu mengatakan banyak yang menanggapi kontra pernyataan seorang pemimpin bisa sekeras itu.
“Kalau gubernur orang luar Palu tidak mengungsi, boleh. Karena yakin dia banyak yang urus. Dia pejabat semua pasti disiapkan. “Kasihan ASN/PNS yg biasa, lalu semua harta hancur mungkin ada keluarganya yang jadi korban. Dia mengungsi (keluar daerah lain) dapat bahasa gubernur macam ini pasti sedih,” tulis teman itu.
Baca juga : Penyaluran C6 Dibatasi hingga 16 April
Lalu pertanyaan saya kepadanya, apakah gubernur bukan korban? Bagaimana warga Palu yang tidak punya kampung halaman dan mereka juga korban? Mungkin juga banyak keluarganya yang hilang, lalu dia mengurusi semuanya sendiri karena tetangganya dari kampung sebelah memilih pulang kampungnya? Dimana solidaritas sebagai sesama warga? Mereka hidup dari uang APBD Sulteng bila mereka ASN. Siap ditempatkan dimana saja pada kondisi apa saja. Lalu menghilang karena bencana alam.
Apakah pernah mereka memikirkan bagaimana pusingnya gubernur ketika ditinggalkan sebagian pejabat, pada saat harusnya dia dibantu untuk memikirkan apa yang harus dilakukan pemerintah daerah pada kondisi seperti ini? Pernahkah orang-orang berpikir, bagaimana sakitnya ditinggal sendirian pada saat tengah ditimpa musibah.
Palu tiba-tiba menjadi kota mati karena ditinggal penghuninya. Penjarahanpun bermunculan ketika kota tak lagi ada penduduknya. Lalu mereka yang tertinggal sendirian menjadi bulan-bulanan ketakutan gempa yang masih terus datang dan kejahatan yang muncul gara gara banyak rumah yang ditinggal penghuninya.
“Saya dan keluarga selamat. Bertekad tidak akan tinggalkan kota Palu meski banyak keluarga menyarankan kembali ke Ternate. Syukur alhamdulillah..Allah menyelamatkan kami dan terus bertahan di rumah meski tidur dan masak di halaman,” tulis Muhtadin dg Mustafa, Doktor di IAIN Datokarama Palu.
Prof Muchtar Mahrum pun menuliskan hal yang sama. Guru besar Universitas Tadulako itu memilih bertahan di Palu meski keluarga dari selatan, tolitoli dan daerah lainnya mengajaknya pulang kampung. Penting baginya tetap berada di Palu pada kondisi kota ini membutuhkan sokongan dari warganya. Ajal bisa datang dimana saja, kata Prof Muchtar Mahrum. Keduanya menulis di WA grup.
Baca juga : Merindukan Oegroseno, Membayangkan Senyuman Jenderal Hoegeng
Sebenarnya, tak apa bila dengan alasan menyelamatkan keluarga mereka mengungsi ke kota lain. Tapi bila mereka pejabat dan memiliki tanggung jawab terhadap pemerintahan, harusnya cepat kembali mengurusi daerah ini. Bukankah mereka telah menerima fasilitas sebagai pejabat. Harusnya susah senang diterima seimbang.
Dajjudin, karyawan PT kalla di Palu, memilih jadi relawan dan membuka dapur umum untuk para korban gempa tsunami dan likuifaksi. “Alhamdulillah kita masih diberi kesehatan bisa membantu yang lain, jadi kami membuka dapur umum di sini,” ujar Dajju via telepon.
Satu hal yang ingin saya katakan, “Pak Gubernur, tak semua orang memiliki kebesaran jiwa, keberanian hati. Pada kondisi yang hanya Tuhan pemilik semesta alam yang tahu, naluri manusia untuk menyelamatkan diri tak terelakkan. Maka tak ada yang salah dengan pernyataanmu soal oknum pejabatmu yang memilih mencari aman. Warga luar Palu yang lama mengadu nasib di sini dan mengungsi ke kota lain saat musibah.
Namun penting bagi Pak gubernur melihat siapa “pembantu” sejati seperti yang disebut Ali RA. ***
Tello, suatu masa