Didiklah Anakmu, Pada Jamannya. Judul diatas adalah pesan Rasululullah Muhammad SAW kepada sepupunya yang juga menantu beliau, Imam Ali bin Abi Thalib, ayah Imam Hasan dan Husain. Lalu Pakar Pendidikan Indonesia Dr Munif Chatib menuturkan lagi pesan ini sebagai pembuka seminar Mendesain Generasi Pemakmur Bumi di Era Milenial yang diselenggarakan Rumah Sekolah Cendekia akhir pekan lalu di Kota Makassar.
Lalu, di era mana saat ini anak-anak kita hidup dan menjalankan kesehariannya? Tak Dr Munif Chatib, Pakar Ekonom Indonesia, Hermawan Kertawajaya pun sepakat bahwa kita saat ini hidup di era Industri 4.0 ( four point zero). Dimana kehidupan hampir semuanya berurusan dengan internet dan gadget.
Orang dapat membeli makanan dan semua kebutuhan harian via internet. Bermain game pun lewat internet. Hampir tak ada satu penduduk kota dan desa yang tak memiliki gadget. Maka, lihatlah bagaimana anak-anak kita kini tak berhenti bermain dengan smartphone. Bahkan kata Dr Munif banyak anak-anak yang diperbudak gadget. Bagaimana tidak, bila orang tuapun tak lepas perhatian dan genggamannya dengan gadget.
Baca juga : Bahasa Cinta Ibu
“Maka pendidikan kita harus tepat, kalau tidak anak-anak tergilas pada abad 21 ini,” ujar Dr Munif Chatib, penulis buku pendidikan populer, Sekolahnya Manusia (2009) itu.
Dr Munif mengatakan pertemuan United Nation (PBB) di Bali 2018 yang membahas tentang ekonomi kreatif dunia ini menyepakati beberapa hal. Salah satunya adalah ukuran indeks manusia diubah dari Human Development Index kini menjadi Human Capital Index.
Apa human capital index? Bahwa manusia tidak hanya sebagai sumber daya, tetapi telah menjadi modal (kapital). Manusia seperti apa yang bisa disebut sebagai modal atau aset? Tentu mereka yang memiliki kemampuan dan daya “jual” yang lebih.
Bagaimana anak-anak dibangun menjadi kapital human bila orangtua, sekolah dan lingkungan tak membangunkan suasana tersebut. Kata Dr Munif, sangat penting bagi sekolah dan orangtua memahami, apa yang menjadi kebutuhan anak-anak di kehidupan saat ini.
Menurut penulis Islamic Quantum Learning ini, ibarat sebuah bangunan, anak-anak harus dibangun dengan pondasi yang kuat. Pondasi yang kuat itu adalah agama. “2/3 pondasi pendidikan anak-anak yang membentuk karakternya adalah akhlakul karimah,” tandas Munif.
Baca juga : Menikmati Kepingan-Kepingan Hidup
Sehingga, bagaimanapun bentuk rumah yang mereka bangun, tak akan sulit bagi mereka menyesuaikan karena pondasinya kuat. “Pondasinya tetap sepanjang jaman, rumahnya yang berbeda-beda,” ujar pendiri School of Human di Cibubur ini.
Namun meskipun, pada akhirnya agama yang menjadi pondasi kehidupan, kita tak boleh pula meninggalkan perubahan itu sendiri. Kita tak bisa menafikan dan mengabaikan perubahan. Bila kita tak mengikuti perubahan kondisi jaman, maka akan sulit baginya untuk menyesuaikan diri.
Meninggalkan gadget, karena dianggap membahayakan anak-anak, bukan solusi yang benar disaat kita hidup di era digital saat ini. “Ukurannya, bila anak-anak bisa memanfaatkan gadge dan internet untuk menyelesaikan pekerjaan sekolah, ini artinya bermanfaat,” tandas Dr Munif.
Baca juga : Pengasuhan Anak Ala Lumba-Lumba
Maka sekolahpun harus memahami perubahan yang terjadi mengikuti jamannya. Sekolah tak boleh membuat kurikulum yang tidak sesuai jaman dan kebutuhan anak-anak didik. Ada 4 poin yang disampaikan Munif untuk ukuran sekolah “keren”.
Pertama, isi kurikulum sekolah harus kontekstual sesuai kebutuhan anak. Kedua, sekolah yang membangun karakter dan akhlak anak-anak. Sebab kata Munif, akhlak akan menjadi cahaya untuk mereka bertumbuh. Ketiga, sekolah menjadi sumber informasi yang banyak, multi source. Ke empat, sekolah bisa meluluskan murid dan siswa yang memiliki literasi yang bisa disampaikan kepada masyarakat.